Bukittinggi City

Jumat, 12 April 2013

Albert Ellis, Rasional Emotif Terapi

Albert Ellis terkenal sebagai pemikir dan pencetus rasional emotif terapi, sebuah bentuk terapi yang populer dan banyak digunakan dalam proses konseling saat ini.

Albert Ellis dilahirkan pada tahun 1913 di Pittsburgh, Amerika Syarikat. Pada saat mencetuskan teorinya, dia mendapati bahwa teori psikoanalasis yang dipelopori oleh Freud tidak mendalam dan adalah satu bentuk pemulihan yang tidak saintifik. Pada awal tahun 1955, beliau telah menggabungkan terapi-terapi kemanusiaan, fisolofikal dan tingkah laku dan dikenali sebagai teori emosi-rasional (RET/ Rational Emotive Therapy). Semenjak itu beliau terkenal sebagai bapak kepada teori RET dan salah satu tokoh teori tingkah laku kognitif.

Pada masa kanak-kanak, Albert Ellis sering mengalami gangguan kesehatan. Bahkan dia pernah menjalani rawat inap untuk perawatan penyakit nefritis yang dideritanya sebanyak Sembilan kali. Albert Ellis adalah orang yang mempunyai cita-cita yang tinggi untuk menjadi pakar dalam ilmu psikologi. Pada tahun 1947 hingga 1953 Ellis telah menjalankan kajian secara klasikal berasaskan psikoterapi. Hasil kajian mendapati bahwa terapi psikoanalisis tidak begitu menyeluruh dan tidak saintifik.

Pendekatan Teori Rasional Emotif Terapi Albert Ellis
Sebuah pernyataan yang humanis dari Albert Ellis “Acceptance is not love. You love a person because he or she has lovable traits, but you accept everybody  just be cause they're alive and human” (Penerimaan bukan cinta. Anda mencintai seseorang karena dia memiliki sifat menyenangkan, tapi Anda menerima semua orang hanya karena mereka hidup dan manusia).
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian Albert Ellis, dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis. Ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu
Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.

Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.

Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan keran itu tidak produktif.

Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.

Selain itu, Ellis juga menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus melawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan irasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psikologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional.

Albert Ellis juga menambahkan bahwa secara biologis manusia memang “diprogram” untuk selalu menanggapi “pengondisian-pengondisian” semacam ini. Keyakinan-keyakinan irasional tadi biasanya berbentuk pernyataan-pernyataan absolut.

Dalam menjelaskan teorinya tentang Rasional Emotif terapi, Albert Ellis mempunyai pendekatan sebagai berikut:
•    Teori RET mementingkan tiga aspek utama yaitu kognitif, emosi dan aspek tingkah laku.
•    Memberi penekanan kepada pemikiran,penganalisaan, penilaian, perlakuan dan membuat keputusan.
•    Pendekatan teori ini bercorak deduktif atau mengajar, mengarah dan mengutamakan kepada pemikiran daripada kepercayaan yang tidak rasional.
•    Kepercayaan ini perlu dicabar dan diperbetulkan supaya dapat mewujudkan sistem kepercayaan yang baik dan rasional.
•    Prinsip terapi RET boleh digunakan kepada masalah sekarang, masalah yang lain dalam kehidupan dan juga masalah yang mungkin dihadapi pada masa akan datang.
•    Fokus prinsip ini adalah kepada pemikirandan tindakan, bukan hanya mengikuti perasaan.
•    Terapi ini dianggap sebagai satu proses pembelajaran kerana fungsi konselor yang berbeda-beda.
•    Teori Ellis ini berasaskan bahwa individu-individu mempunyai usaha untuk bertindak sama dan dalam bentuk rasional maupun tidak rasional.

Sumber: http://www.psychologymania.com/2012/05/albert-ellis-tokoh-rasional-emotif.html

Teori Dan Pendekatan Konseling Analisis Transaksional

A.    Analisis Transaksional
Analisis Transaksional (AT) adalah salah satu pendekatan Psychotherapy yang menekankan pada hubungan interaksional. Transaksional maksudnya ialah hubungan komunikasi antara seseorang dengan orang lain. Adapun hal yang dianalisis yaitu meliputi bagaimana bentuk cara dan isi dari komunikasi mereka. Dari hasil analisis dapat ditarik kesimpulan apakah transaksi yang terjadi berlangsung secara tepat, benar dan wajar. Bentuk, cara dan isi komunikasi dapat menggambarkan apakah seseorang tersebut sedang mengalami masalah atau tidak.

AT dikembangkan oleh Eric Berne tahun 1960 yang ditulisnya dalam buku Games People Play. Analisis Transaksional (AT) dapat digunakan dalam konseling individual, tetapi lebih cocok digunakan dalam konseling kelompok. Analisis Transaksional melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh klien, yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arah proses konseling. Pendekatan ini menekankan pada aspek perjanjian dan keputusan. Melalui perjanjian ini tujuan dan arah proses terapi dikembangkan sendiri oleh klien, juga dalam proses terapi ini menekankan pentingnya keputusan-keputusan yang diambil oleh klien. Maka proses terapi mengutamakan kemampuan klien untuk membuat keputusan sendiri, dan keputusan baru, guna kemajuan hidupnya sendiri.

B.     Sejarah Perkembangan
Analisis transaksional merupakan karya besar Eric Berne (1961). Berne merupakan ahli ilmu jiwa terkenal di Amerika, lahir di Montreal 10 Mei 1910, memulai karirnya sebagai psikiatris tahun 1941 sebagai psikoanalisis. Namun pada akhirnya berne menciptakan teori baru karena kecewa dengan pelaksanaan psikoanalisa yang membutuhkan waktu lama sampai bertahun tahun dalam menganalisa pasien. Gagasan tentang AT mulai dikenalkan ke publik tahun 1949 melalui makalah yang berjudul “ the nature of intuition”, tetapi dalam tulisan tersebut konsep AT belum dirumuskan dengan jelas. Konsep AT secara resmi mulai diperkenalkan pada berbagai forum ilmiah, antara lain pada “ weatern regional meeting of the american group psychoteraphy association “ di Los Angles Amerika Serikat tahun 1957 melalui makalah yang berjudul “ Transctional Analysis : A New and effective Method Of Group Therapy”.

Eric berne melakukan percobaan selama hampir 15 tahun dan akhirnya berne merumuskan hasil percobaanya itu dalam suatu teori yang disebut “ Analisis Transaksional dalam psikoterapi” yang diterbitkan pada tahun 1961, selanjutnya tahun1964 dia menulis pula tentang “ games people play “dan tahun 1966 menerbitkan  “Principles of Group treatment”. Pengikut Eric Berne adalah Thomas Harris, Mc Neel J. dan R.Grinkers. Sejak kematian Berne, 1970, pengikutnya selalu berupaya mengembangkan AT ini. AT yang pada mulanya dipergunakan Berne untuk terapi kelompok, sekarang telah meluas pula untuk terapi Individual dan tersebar luas baik di Amerika Serikat maupun di Amerika Selatan, Eropa, India atau Jepang.

C.     Hakikat Manusia
Pandangan analisis transaksional tentang hakekat manusia ialah :
a.  Pada dasarnya manusia mempunyai keinginan atau dorongan – dorongan untuk memperoleh sentuhan atau “stroke”.
b.  Kehidupan manusia bukanlah merupakan sesuatu yang telah ditentukan (anti deterministik)
c.  Manusia mampu memahami keputusan-keputusannya pada masa lalu & kemudian dapat memilih untuk memutuskan kembali atau menyesuaikan kembali keputusan yang pernah diambil
d. Manusia mempunyai kebebasan untuk memilih & dalam tingkat kesadaran tertentu indivu dapat menjadi mandiri dalam menghadapi persoalan hidupnya
e.  Hakekat manusia selalu ditempatkan dalam interaksi sebagai dasar pertumbuhan dirinya.
f.   Manusia dapat ditingkatkan, dikembangkan dan diubah secara langsung melalui proses yang aman, menggairahkan dan bahkan menyenangkan.

D.    Perkembangan Perilaku
1.  Struktur kepribadian
Ketika Berne menghadapi klien, ia menemukan bahwa kliennya kadang-kadang berfikir, berperasaan dan berperilaku seperti anak-anak, tapi di lain kesempatan terlihat seperti orang tua atau orang dewasa. Berdasarkan pengalamanya dengan klien itu, Berne berkesimpulan bahwa manusia memiliki berbagai bentuk kondisi ego, atau disebutnya dengan ego states yaitu unsur-unsur  kepribadian yang terstruktur dan itu  merupakan satu kesatuan yang utuh.

Adapun struktur kepribadian itu terdiri dari 3 status ego yaitu ; ego orang tua, ego dewasa dan ego anak.
1)   Status Ego orang tua. (ego state parent)
Yaitu bagian dari kepribadian yg menunjukkan sifat-sifat orang tua, berisi perintah (harus & semestinya). Jika individu merasa dan bertingkah laku sebagaimana orang tuanya dahulu, maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut dalam status ego orang tua. Status ego orang tua merupakan suatu kumpulan perasaan, sikap, pola-pola tingkah laku yang mirip dengan bagaimana orang tua individu merasa dan bertingkah laku terhadap dirinya.
2)   Status Ego dewasa (Ego state adult)
Yaitu bagian dari kepribadian yg objektif, stabil, tidak emosional, rasional, logis, tidak menghakimi, berkerja dengan fakta dan kenyataan-kenyataan, selalu berusaha untuk menggunakan informasi yang tersedia untuk menghasilkan pemecahan yang terbaik dalam pemecahan berbagai masalah. Dalam status orang dewasa selalu akan berisi hal-hal yang produktif, objektif, tegas, dan efektif dan bertanggung jawab dalam menghadapi kehidupan. Jika individu bertingkah laku sesuai dengan yang telah disebutkan tadi, maka individu tersebut dikatakan dalam status ego dewasa..
3)   Status ego anak (ego state child)
Yaitu bagian dari kepribadian yang menunjukkan ketidakstabilan, reaktif, humor, kreatif, serta inisiatif, masih dalam perkembangan, berubah-ubah, ingin tahu dan sebaginya. Status ego anak berisi perasaan, tingkah laku dan bagaimana berpikir ketika masih kanak-kanak dan berkembang bersama dengan pengalaman semasa kanak-kanak.

Sikap dasar manusia.
Sehubungan dengan penilaian seseorang terhadap dirinya (I) dan orang lain (you), Thomas Harris (1985 : 50) mengklasifikasikan adanya 4 macam sikap dasar sesuai dengan perkembangan manusia.
1)    Posisi pertama     : I’m Not OK – You’re OK
Posisi ini menunjukkan bahwa pada diri seseorang merasakan bahwa ia lebih rendah dari orang lain. Posisi ini adalah sikap umum yang yang pertama dimiliki oleh anak pada masa awal kanak-kanak.
2)    Posisi kedua        : I’m Not OK – You’re Not OK
Yaitu sikap dasar yang memandang jelek baik atas dirinya maupun kepada orang lain. Kondisi seperti ini menandakan seseorang bermasalah atau depresi.Keadaan ini lebih parah dan berbahaya dari posisi pertama
3)    Posisi ketiga         : I’m OK – You’re Not OK
Yaitu sikap yang memandang jelek terhadap orang lain.Posisi hidup ini menunujukkan adanya kecenderungan pada diri seseorag untuk menuntut seseorang, menyalahkan seseorang, mengkambinghitamkan orang lain, menuduh orang lain.
4)    Posisi keempat    : I’m OK – You’re OK
Posisi ini adalah posisi hidup yang baik atau kepribadian yang sehat dan menunjukkan adanya suatu keseimbangan pada diri seseorang. Posisi ini menunjukkan adanya pengakuan akan orang lain yang memiliki hak yang sama dengan dirinya.

2.    Pribadi sehat dan bermasalah.
a.       Pribadi sehat.
Dalam pandangan teori ini kepribadian individu yang sehat adalah sebagai berikut;
a)      Memiliki posisi kehidupan I’M ok – You ‘re OK
b)      Status ego berfungsi secara tepat
c)      Relatif bebas dari script
d)     Memahami dirinya dan orang lain

b.      Pribadi bermasalah.
Kepribadian yang dipandang tidak normal menurut teori ini adalah sebagai berikut;
a)      Posisi kehidupan I’am not OK – You ‘re OK
b)      Posisi kehidupan I’am OK – You ‘re not OK
c)      Posisi kehidupan I’am not OK – You ‘re not OK
d)      Kontaminasi status ego
e)      Eksklusi (batas status ego yang kaku)

E.     Hakikat Konseling
Hakikat Konseling dalam pendekatan Analisis transaksional yaitu perancangan status ego klien dalam bertransaksi sehingga klien mampu mempromosikan dirinya dengan tepat.serta berupaya untuk merangsang rasa tanggung jawab pribadi klien atas tingkah lakunya sendiri, pemikiran yang logis, rasional, tujuan-tujuan yang realistis, berkomunikasi dengan terbuka, wajar, dan pemahaman dalam berhubungan dengan orang lain. Konseling dalam pendekatan ini cenderung ke arah aspek-aspek kognitif dan behavioral dan dirancang untuk membantu orang-orang dalam mengevaluasi putusan-putusan yang telah dibuatnya menurut kelayakan sekarang.

F.      Kondisi Pengubahan
1.    Tujuan konseling analisis transaksional
Menurut Eric Berne 1966 (Dewa Ketut Sukardi 1984:223), mengemukakan empat tujuan yang ingin dicapai dalam konseling  analisis transaksional, yaitu:
1)      Konselor membantu klien yang mengalami kontaminasi status ego yang berlebihan.
2)      Konselor membantu mengembangkan kapasitas diri klien dalam menggunakan semua status egonya yang cocok, mencakup memperoleh kebebasan dan kemampuan yang dapat ditembus diantara status egonya.
3)     Konselor berusaha membantu klien dalam mengembangkan seluruh status ego dewasanya. Pengembangan ini pada hakikatnya adalah menetapkan pikiran dan penalaran individu, untuk itu individu membutuhkan kemampuan serta kapasitas yang optimal dalam mengatur hidupnya sendiri.
4)     Konselor membantu klien dalam membebaskan dirinya dari posisi hidup yang kurang cocok serta menggantinya dengan rencana hidup yang baru yang lebih produktif.

2.    Sikap,Peran dan tugas konselor
Konselor  dalam AT berperan sebagai guru, pelatih, narasumber dan sebagai fasilitator yang bersikap Terbuka, tanggung jawab, Hangat, perhatian dan Tulus.
a.       Sebagai guru, konselor menerangkan konsep-konsep seperti analisis struktural, analisis transaksional analisis skenario, dan analisis permainan.
b.      Sebagai pelatih, konselor mendorong dan mengajari agar klien mempercayai ego dewasanya sendiri, membantu klien agar terampil melaksanakan hubungan antar pribadi dengan menggunakan status ego yang tepat.
c.       Sebagai nara sumber, Konselor Membantu klien dalam hal menemukan kondisi masa lalu yg tdk menguntungkan.
d.      Sebagai fasilitator, Konselor menolong klien mendapatkan perangkat yg diperlukan, menyediakan lingkungan yang menunjang untuk mencapai perubahan klien atau keseimbangan ego state klien.

3.    Sikap,Peran dan Tugas Klien
Klien mampu dan bersedia memahami dan menerima kontrak konseling
Klien harus aktif dalam proses konseling
Klien memperlihatkan kesediaan untuk berubah dg benar-benar berbuat.

4.    Situasi Hubungan
Ada beberapa implikasi yang menyangkut hubungan konselor dan klien, yaitu:
1.      Tidak ada jurang pengertian yang tidak bisa dijembatani di antara konselor dan klien. Konselor dan klien berbagi kata-kata dan konsep-konsep yang sama, dan keduanya memiliki pemahaman yang sama tentang situasi yang dihadapi.
2.      Klien memiliki hak-hak yang sama dan penuh  dalam konseling.
Berarti klien tidak bisa dipaksa untuk menyingkapkan hal-hal yang tidak ingin diungkapkannya.
3.       Kontrak memperkecil perbedaan status dan menekankan persamaan di antara konselor dan klien.

G.     Mekanisme Pengubahan
1.    Tahap – tahap Konseling
Menurut Harris, proses konseling AT ada beberapa tahapan, al:
a.       Pada bagian pendahuluan digunakan untuk menentukan kontrak dengan klien, baik mengenai masalah maupun tanggung jawab kedua pihak.
b.      Pada bagian kedua baru mengajarkan Klien tentang ego statenya dengan diskusi bersama Klien ( Shertzer & Stone, 1980 : 209).
c.       Kemudian membuat kontrak yang dilakukan oleh klien sendiri, yang berisikan tentang apa yang akan dilakukan oleh klien, bagaimana klien akan melangkah kearah tujuan yang telah ditetapkan, dan klien tahu kapan kontraknya akan habis. Kontrak bagi Dusay (Cosini, 1984 : 419 ) adalah berbentuk pernyataan klien – konselor untuk bekerja sama mencapai tujuan dan masing-masing terikat untuk saling bertangung jawab.
d.      Setelah kontrak ini selesai, baru kemudian konselor bersama klien menggali ego state dan memperbaikinya sehingga terjadi dan tercapainya tujuan konseling.

2.      Teknik Konseling
Dalam AT konseling diarahkan kepada bagaimana klien bertransaksi dengan lingkungannya. Karena itu, dalam melakukan konseling ini, konselor memfokuskan perhatian terhadap apa yang dikatakan klien kepada orang lain dan apa yang dikatakan orang lain kepada klien. Untuk itu, teknik yang sering digunakan dalam AT diantaranya adalah analisis struktur, analisis transaksional, analisis mainan dan analisis skript,.
1.      Analisis Struktur
Analisis struktur maksudnya adalah analisis terhadap status ego yang menjadi dasar struktur kepribadian klien yang terlihat dari respons atau stimulus klien dengan orang lain
2.      Analisis transaksional
Konselor menganalisis pola transaksi dalam kelompok, sehingga konselor dapat mengetahui ego state yang mana yang lebih dominan dan apakah ego state yang ditampilkan tersebut sudah tepat atau  belum.
3.      Analisis Mainan
Analisis mainan adalah analisis hubungan transaksi yang terselubung antara Klien dengan konselor atau dengan Lingkungannya. Konselor menganalisis suasana permainan yang diikuti oleh klien untuk mendapat sentuhan, setelah itu dilihat apakah klien mampu menanggung resiko atau malah bergerak kearah resiko yang tingkatnya lebih rendah.
4.      Analisis Skript
Analisis Skript ini merupakan usaha konselor untuk mengenal proses terbentuknya skript yang dimiliki klien. Analisis skript ini hendaknya sampai menyelidiki transaksi seseorang sejak dalam asuhan orang tua, pada masa ini terjadi transaksi antara orang tua dengan anak-anaknya. Dan pada akhirnya terbentuk suatu tujuan hidup dan rencana hidup (script atau naskah). Hal ini dilakukan apabila konselor sudah meyakini bahwasanya kliennya terjangkit posisi hidup yang tidak sehat.

H.    Kelemahan Dan Kelebihan
Dengan melihat Konsepsi, penekanan, serta pelaksanaanya, maka ada beberapa kelebihan dan kelemahan dari AT,
1.    Kelebihan AT antara lain :
a.       Punya Pandangan Optimis dan Realistis tentang Manusia.
AT memandang manusia dapat berubah bila dia mau. Manusia punya kehendak dan kemauan. Kemauan inilah yang memungkinkan manusia berubah, tidak statis. Sehingga manusia bermasalah sekalipun dapat berubah lebih baik, bila kemauannya dapat tumbuh.
b.      Penekanan Waktu Sekarang dan Di sini.
Tujuan pokok terapi AT adalah mengatasi masalah klien agar dia punya kemampuan dan memiliki rasa bebas untuk menentukan pilihannya. Hal ini dimulai dengan menganalisis interaksinya dengan konselor atau orang lain. Dan itu adalah persoalan interaksi sekarang. Kini dan di sini (here and now).
c.       Mudah Diobservasi.
Pada umumnya teori yang muncul dari laboratorium itu sulit diamati karena itu terlihat abstrak, sehingga kadang-kadang tak jarang pula yang hanya merupakan konstruk pikiran manusia penemunya. Berbeda dengan AT, ajaran Berne tentang status ego ( O, D dan A) adalah konsep yang dapat diamati secara nyata dalam setiap interaksi atau komunikasi manusia.
d.      Meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi
Fokus AT terpusat pada cara bagaimana klien berinteraksi, maka treatment juga mengacu pada interaksi, cara bebicara, kata-kata yang dipergunakannya dalam berkomunikasi. Karena itu, AT tidak hanya berusaha memperbaiki sikap, persepsi, atau pemahamannya tentang dirinya tetapi sekaligus mempunyai sumbangan positif terhadap keterampilan berkomunikasi dengan orang lain. Hal semacam ini tidak dimilliki oleh pendekatan lainnya.

2.      Kelemahan yang dimiliki AT antara lain :
a.       Kurang Efisien terhadap Kontrak Treatment
AT mengharapkan, kontrak treatment antara konselor-klien harus terjadi antara status ego Dewasa-dewasa. Artinya menghendaki bahwa klien mengikat kontrak secara realistis. Tetapi dalam kenyataannya, cukup banyak ditemui bahwa banyak klien yang punya anggapan jelek terhadap dirinya, atau tidak realistis. Karena itu, sulit tercapainya kontrak, karena ia tidak dapat mengungkapkan tujuan apa yang sebenarnya diinginkannya. Sehingga memerlukan beberapa kali pertemuan. Hal semacam ini dianggap tidak efisien dalam pelaksanaannya.
b.      Subyektif dalam Menafsirkan Status Ego.
Apakah ungkapan klien termasuk status Ego Orang tua, Dewasa, atau Anak-anak merupakan penilaian yang subyektif. Mungkin dalam hal yang ekstrim tidak ada perbedaan dalam menafsirkannya. Tapi bila pernyataan itu mendekati dua macam status ego akan sulit ditafsirkan, dan mungkin berbeda antara orang yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan dalam memahami status ego ini, menyebabkan sulitnya kesamaan dalam menakar egogram klien.

Sumber:
Gerald, C. (2005). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi . Bandung: Rafika Aditama
Harris, T. (1981) . SAYA OKE-KAMU OKE, terjemahan. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
Ketut, D. (2002). Bimbingan dan konseling di sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Ketut, D. (1984). Pengantar teori konseling. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Surya, M. (2003). Teori-teori konseling. Bandung: Pustaka Bany Quraisy.

Logoterapi (Viktor Frankl)

Manusia sebagai makhluk yang terlahir sebagai makhluk yang mempunyai banyak potensi dalam dirinya, baik itu potensi akal, fisik, ataupun potensi psikis (afektif/ perasaan) dan merupakan makhluk yang paling misterius yang artinya mengandung kerahasiaan yang selamanya tidak akan terbuka secara tuntas, man the unknow kata Alexis Carel seorang penerima nobel ilmu kedokteran.

Dalam perjalanan hidupnya manusia banyak sekali merekam pengalaman dalam sepanjang hidupnya, baik atau buruknya pengalaman itu semua terekam dalam otak kita. Dari pengalaman-pengalam itu ada sebagian orang yang belajar dari pengalaman tersebut dan ada yang menjadi terpuruk dengan kejadian masa lalunya atau biasa kita sebut trauma. Namun dari kesemuanya itu sebenarnya ada suatu hal akan akan dapat memotivasi manusia untuk menyikapi semua permasalah, cobaan yang menimpa manusia. Suatu hal itu yang bisa kita sebut sebagai “makna hidup”. Dalam tulisan ini saya berusaha membahas apa itu makna kehidupan dalam paradigma ilmu psikologi.

Dalam logoterapi (masuk dalam aliran psikologi eksistensial humanistik) sebuah aliran psikologi yang dirintis oleh Viktor Frankl ada tiga asas dalam aliran ini yang merupakan pandangan tentang makna kehidupan. Pertama, bahwa hidup memiliki makna (arti) dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasa penting, benar dan berharga yang didambakan serta memberikan nilai khusus seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup. Dengan adanya makna hidup ini maka manusia akan berusaha menemukan apa tujuan hidupnya, dengan ini maka manusia akan merasa hidupnya penuh arti dan sangat berharga untuk diperjuangkan. Sebenarnya makna hidup itu sendiri sudah ada didalam diri manusia dan terpatri didalamnya baik dalam kondisi senang ataupun susah. Maka apakah kita sudah menemukan apa makna (arti) kehidupan kita??

Kedua adalah setiap manusia memiliki kebebasan yang hampir tak terbatas untuk menemukan sendiri makna hidupnya. Makna hidup dan sumber-sumbernya dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, khususnya pada pekerjaan dan karya bakti yang dilakukan, serta dalam keyakinan terhadap harapan dan kebenaran serta penghayatan atas keindahan, iman, cinta dan kasih. Makna hidup ada didalam diri kita dan disekitar kita, maka apa makna hidup ini buat kita??

Ketiga setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap penderitaan dan peristiwa tragis yang tidak dapat dielekkkan lagi yang menimpa diri sendiri dan lingkungan sekitar, setelah upaya mengatasinya telah dilakukan secara optimal tetapi tidak berhasil. Maksudnya jika kita tidak mungkin mengubah suatu keadaan tragis, sebaiknya kita mengubah sikap atas keadaan itu agar kita tidak terhanyut secara negaif oleh keadaan itu. Tentu saja dengan mengambil sikap tepat dan baik, yakni sikap yang menimbulkan kebijakan pada diri sendiri dan orang lain serta sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma-norma lingkungan yang berlaku.

Asas-asas ini hakikitnya merupakan inti dari setiap perjuangan hidup, yakni mengusahakan agar hidupnya senantiasa berarti bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat dan Agama. Dalam hal ini diakui adanya kebebasan (yang bertanggung jawab) untuk mewujudkan hidup yang bermakna melalui pekerjaan, karya bakti, keyakinan dan harapan secara tepat untuk mengatasi segala permasalah hidup yang tidak terelakkan lagi.

Dari pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan:
•    Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun kehidupan ini selalu mempunyai makna.
•    Kehendak untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama setiap orang.
•    Dalam batas-batas tertentu manusia memiliki kebebasan dan bertanggung jawab pribadi untuk memilih, menentukan, dan memenuhi makna dan tugas hidupnya.
•    Hidup yang bermakna dapat diperoleh dengan merealisasikan tiga nilai hidup; yaitu nilai kreatif (creativity value), nilai-nilai penghayatan (experiental value), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal value).
Menurut teori ini eksistensi manusia ditandai oleh kerohanian (spirituality), kebebasan (freedom), dan tanggung jawab (responsibility).

Banyak diantara kita yang menekan bahkan melupakan adanya potensi-potensi diatas, bahwa mereka punya sisi spirit, freedom dan tanggung jawab. Padahal dengan itulah maka eksistensi kita sebagai manusia akan terwujud. Menjadi makhluk yang disebut oleh Allah sebagai khalifah fiil ard yang diciptakan dengan sebuah tujuan yaitu beribadah (secara umum) dari sisi spiritual, mengelola bumi untuk kemaslahatan manusia (kebebasan berbuat) dan menjaga kelestarian hidup manusia dibumi (tanggung jawab).

Sumber: http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2012/05/12/logoterapi-makna-hidup-dalam-psikologi-viktor-frankl-462406.html

Senin, 25 Maret 2013

TERAPI PSIKOANALISIS



TERAPI PSIKOANALITIK merupakan sumbangsih paling berharga dari seorang Sigmund Freud terhadap psikoterapi modern. Walaupun gagasan-gasan mengenai teorinya lebih bersifat subjektif daripada ilmiah, toh tak menghalangi Freud untuk masuk ke dalam deretan tokoh paling berpengaruh dalam sejarah via Michael H. Hart. Ini membuktikan bahwa, dari ketidakilmiahan teorinya, masih ada sedikit kebenaran yang dapat diambil, setidaknya menjadi bahan renungan bagi kita yang hidup tak semasa dengannya.

1. Definisi
Terapi psikoanalitik terdiri dari dua kata, yaitu “terapi” dan “psikoanalitik”. Secara eksplisit, “terapi” dalam psikologi berarti perawatan masalah-malah tingkah laku. Sedangkan “psikoanalitik” merujuk pada metode psikoterapi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud.
Dengan demikian, terapi psikoanalitik dapat dipahami sebagai perawatan yang dikembangkan oleh Freud, dengan memusatkan perhatian pada pengidentifikasian penyebab-penyebab tak sadar dari tingkah laku abnormal dengan menggunakan metode hipnotis, asosiasi bebas, analisis mimpi, transferensi, dan penafsiran.

2. Metode
Ketika Freud menghadapi pasiennya, dia selalu tenang, dan menyuruh pasiennya itu berbaring di sofa untuk menceritakan segala hal. Bagi Freud, metode semacam itu cukup ampuh untuk membantu pasien ke luar dari masalah psikisnya. Lalu, apa “metode” itu? Dalam psikoanalsis Freud, metode diterjemahkan sebagai cara yang digunakan untuk membantu pasien dalam memperoleh pemahaman mengenai konflik-konflik tak sadar yang dia alami sekaligus memecahkannya.
Secara umum, ada sekitar lima metode yang digunakan Freud, yaitu hipnotis (pada masa awal), asosiasi bebas, analisis mimpi, transferensi, dan penafsiran.

a. Hipnotis
Awal kemunculan hipnotis diperkirakan sekitar tahun 1700-an, ketika itu, seorang dokter Wina bernama Franz Anton Mesmer memperlihatkan suatu teknik animal magnetism, tapi kemudian berubah menjadi hipnotisme karena penekanan dari teknik tersebut dialihkan untuk menimbulkan suatu keadaan kesadaran yang berubah melalui sugesti verbal. Pada abad ke-19, Jean-Martin Charcot, seorang dokter Prancis yang hidup sekitar tahun 1825-1893 itu melihat hipnotis sebagai cara untuk membantu orang-orang supaya menjadi santai. Pada tahun yang tidak diketahui, di Paris, Charcot melakukan eksperimen dengan menggunakan hipnotis untuk menangani hysteria, yaitu suatu kondisi di mana seseorang mengalami kelumpuhan atau mati rasa yang tidak dapat dijelaskan oleh pelbagai macam penyebab fisik.
Pada saat demonstrasi eksperimen Charcot itu, terdapat seorang dokter muda asal Wina, yang diketahui belakangan bernama Sigmund Freud. Freud berpikir waktu itu dan menyimpulkan bahwa apapun faktor psikologis yang menyebabkan histeria, faktor-faktor itu pasti terletak di luar area kesadaran. Dan pada saat itulah, Freud belajar dan menggunakan hipnotis untuk melihat alam tak sadar manusia. Hanya beberapa tahun Freud akrab dengan hipnotis, dia meninggalkannya karena dirasa hipnotis tidak efektif seperti metode-metode lainnya, dan sejak kesadaran akan hal tersebut, Freud benar-benar tidak menggunakannya lagi. Walau demikian, jejak rekamnya tentu saja sulit dilupakan orang. Sebagai seorang psikolog yang pernah menggunakan metode hipnotis, orang akan sangat sulit melupakannya bahwa Freud pernah menggunakan hipnotis pada awal kepraktikannya sebagai seorang psikiatri, walau Freud sendiri sudah tidak pernah lagi menggunakannya.
Hipnotis? Adalah suatu prosedur yang menyebabkan sensasi, persepsi, pikiran, perasaan, atau tingkah laku berubah karena disugesti. Huffman, dkk. (1997) seperti ditulis Semiun (h. 555) mengidentifikasi individu yang dihipnotis, bahwa dia yang dihipnotis itu (1) perhatiannya dipersempit dan terfokus, (2) menjadikannya sangat mudah menggunakan imajinasi dan pelbagai halusinasi, (3) sikap individu itu menjadi pasif dan reseptif, (4) tanggapan terhadap rasa sakit berkurang, dan (5) sangat mudah sekali disugesti, dengan kata lain, kesediannya untuk mengadakan respon terhadap perubahan-perubahan persepsi meningkat.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008), kita akan temukan bahwa hipnotis itu suatu perbuatan yang membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam keadaan hipnosis, yaitu keadaan seperti tidur karena sugesti, yang dalam taraf permulaan orang itu berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali. Dalam terapi psikoanalitik, hipnotis digunakan oleh Freud pada tahap awal kepraktikannya bersama seorang neurolog Prancis kenamaan Jean Charcot dan dokter asal Wina Josef Breuer saat menangani pasien yang mengidap histeria.

b. Asosiasi Bebas
Free Association, buku karangan Bollas (2002) yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Winarno (2003) menjadi Asosiasi Bebas merupakan acuan utama dalam menjabarkan hal ihwal asosiasi bebasnya Freud. Dalam buku setebal seratus halaman tersebut, asosiasi bebas secara sederhana didefinisikan sebagai bicara bebas, yaitu sesuatu yang tidak lebih dari berbicara tentang apa yang terlintas dalam pikiran, beralih dari satu topik menuju topik lain dalam suatu urutan yang bergerak bebas serta tidak mengikuti agenda tertentu.
Dan dalam sebuah kesempatan, salah satu pasien Freud, seperti dikutip Wade & Tavris (2008: 383) menyebut metode free association sebagai “penyembuhan dengan bicara”. Dijelaskan kemudian, bahwa asosiasi bebas merupakan proses mengatakan apapun yang terlintas dalam pikiran secara bebas, berkaitan dengan mimpi, fantasi, atau konflik tanpa memberikan komentar apapun. Sedangkan Goble (1991: 137), menjelaskan asosiasi bebas sebagai suatu teknik di mana pasien, dalam keadaan rileks, biasanya berbaring di atas dipan, berbicara tentang apa saja yang melintas dalam pikirannya, tanpa terlalu banyak dipotong.
Senada dengan ketiga tokoh di atas, Nevid, dkk. (2009: 104) menerjemahkan asosiasi bebas sebagai suatu metode [terapi psikoanalitik] untuk melakukan verbalisasi pikiran-pikiran yang muncul pada saat itu tanpa usaha yang sadar untuk mengedit atau menyensornya.
Dari pelbagai pendapat di atas, dapat kita simpulkan bahwa, asosiasi bebas atau free association adalah suatu metode terapi yang dirancang untuk memberikan kebebasan secara total kepada pasien dalam mengungkapkan segala apa yang terlintas di benaknya, termasuk mimpi-mimpi, pelbagai fantasi, dan hal-hal konflik dalam dirinya tanpa diagenda, dikomentari, ataupun banyak dipotong, apalagi disensor.
Asosiasi bebas, sebagai suatu metode terapi, tentu saja memiliki tujuan. Salah satunya, adalah apa yang disebutkan oleh Goble (1991: 137) sebagai berikut, “Teori yang mendasarinya [asosiasi bebas] ialah bahwa lewat diskusi yang kelihatannya tanpa tujuan ini, dilengkapi dengan analisis terhadap mimpi-mimpi pasien, maka pasien itu akan menjadi insaf tentang kejadian-kejadian di masa lalunya yang telah menyebabkan atau tengah menjadi sebab bagi kesulitannya [sekarang].”
Sebagai contoh, sebagaimana dikutip dari Goble (1991: 138), adalah “seorang mahasiswi suatu kolose meminta nasihat mengenai suatu masalah. Sejam kemudian, sesudah puas [d]ia berbicara, sementara selama itu sang terapisnya sendiri tidak mengatakan sepatah kata pun, [d]ia telah memecahkan masalahnya secara memuaskan dan berterima kasih sedalam-dalamnya kepada sang terapis atas jasa-jasa keahliannya.”
Dengan demikian, asosiasi bebas menunjukkan kesanggupannya untuk dapat dikatakan sebagai suatu metode terapi. Bahkan Maslow pernah mewawancarai 34 orang yang baru menjalani pelbagai terapi (salah satunya yang paling dominan adalah asosiasi bebas) dalam suatu tahun terakhir. “Dua puluh empat di antaranya melaporkan bahwa mereka sangat puas dengan bantuan yang telah mereka terima dan bahwa bantuan tersebut sungguh-sungguh menolong mereka.” Maslow sendiri, rupa-rupanya, walau tidak termasuk ke dalam neofreudian, telah mempraktikan asosiasi bebas dalam praktiknya sebagai psikolog.

c. Analisis Mimpi
Mimpi, dipercaya Freud sebagai “jalan yang sangat baik menuju ketaksadaran”. Hal tersebut didasari kepercayaan Freud bahwa mimpi itu perwujudan dari materi atau isi yang tidak disadari, yang memasuki kesadaran lewat yang tersamar. Dalam hal ini, mimpi mengandung muatan manifes atau manifest content dan content latent atau muatan laten. Yang disebut pertama merupakan materi mimpi yang dialami dan dilaporkan. Sedangkan yang disebut kemudian, ialah materi bawah sadar yang disimbolisasikan atau diwakili oleh mimpi.
Sebagai contoh, Tedi bermimpi terbang menaiki Garuda Indonesia. “Terbang” adalah muatan yang tampak atau muatan manifes dari mimpi. Freud percaya bahwa “terbang” merupakan simbol dari ereksi, jadi mungkin muatan laten dari mimpi merefleksikan isi bawah sadar yang berkaitan dengan ketakutan akan impotensi.
Analisis mimpi, sebenarnya lebih dapat dipahami sebagai suatu bentuk asosiasi bebas, tapi dalam konsep Freud, mimpi merupakan suatu bentuk kegiatan mental yang sangat terorganisasi sehingga patut diperhatikan secara khusus. Bukunya yang terbit tahun 1900, yaitu The Interpretation of Dream menjadi bukti konkret akan bentuk perhatian khusus itu.

d. Transferensi
Dalam psikoanalitik Freud, transferensi berarti proses pemindahan emosi-emosi yang terpendam atau ditekan sejak awal masa kanak-kanak oleh pasien kepada terapis. Transferensi dinilai sebagai alat yang sangat berharga bagi terapis untuk menyelidiki ketaksadaran pasien karena alat ini mendorong pasien untuk menghidupkan kembali pelbagai pengalaman emosional dari tahun-tahun awal kehidupannya.
Transferensi pada tahap yang paling kritis berefek abreaksi (pelepasan tegangan emosional) pada pasien. Efek lain yang mungkin, ada dua, yaitu positif dan negatif. Positif: saat pasien secara terbuka mentransferkan perasaan-perasaannya sehingga menyebabkan kelekatan, ketergantungan, bahkan cinta kepada terapis. Negatif: tatkala kebencian, ketidaksabaran, dan kadang-kadang perlawanan yang keras terhadap terapis. Dan ini dapat berefek fatal terhadap proses terapi.

e. Penafsiran
Penafsiran itu sendiri adalah penjelasan dari psikoanalis tentang makna dari asosiasi-asosiasi, pelbagai mimpi, dan transferensi dari pasien. Sederhananya, yaitu setiap pernyataan dari terapis yang menafsirkan masalah pasien dalam suatu cara yang baru. Penafsiran oleh analis harus memperhatikan waktu. Dia harus dapat memilah atau memprediksi kapan waktu yang baik dan tepat untuk membicarakan penafsirannya kepada pasien.
Karena penafsiran merupakan masalah yang begitu kritis, analis harus benar-benar menyadari mekanisme-mekanisme dan pelbagai dorongan untuk mempertahankan dirinya sebab kalau tidak dia akan jatuh ke dalam perangkap penafsiran terhadap pelbagai perasaan dan pikiran dinamik pasien menurut sederet pengalaman dan masalah hidup analis sendiri. Inilah alasannya mengapa psikoanalis harus menjalani analisis diri pribadi.

Sumber: http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2010/12/27/terapi-psikoanalitik-328149.html

Minggu, 24 Maret 2013

TERAPI HUMANISTIK-EKSISTENSIAL

     Pendekatan humanistik-eksistensial atau bisa disebut eksistensial-humanistik, menekankan renungan-renungan filosofis tentang apa artinya menjadi manusia yang utuh. Banyak ahli psikologi yang berorientasi eksistensial yang mengajukan argumen menentang pembatasan studi tingkah laku manusia pada metode-metode yang digunakan oleh ilmu pengetahuan alam. Terapi eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa melarikan diri dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab itu saling berkaitan. Pendekatan eksistensial-humanistik memusatkan perhatian pada asumsi-asumsi filosofi yang melandasi terapi.
     Salah satu kritik terhadap pendekatan ini dalam praktik adalah bahwa terapi ini tidak memiliki pernyataan yang sistematis mengenai prinsip-prinsip dan praktek-praktek psikoterapis. Pendekatan ini paling sering dikritik kelemahannya dalam metodologi. Tetapi, Greening (dalam Corey, 2009) mengatakan bahwa : Humanisme eksistensial sebagai suatu orientasi psikologi menggabungkan aspek-aspek eksistensialisme dan humanisme dengan cara membuktikan sumbangan-sumbangan keduanya sambil mencoba menghindari kekurangan-kekurangannya. Jadi, humanisme eksistensial lebih meyakinkan dibandingkan banyak eksistensialisme, namun lebih mengenal keterbatasan dan keniscayaan aktualisasi diri manusia dibandingkan dengan para humanis yang terpusat pada kesenangan dan pertumbuhan. Humanisme eksistensial mencakup pengakuan eksistensialisme terhadap kekacauan absurditas, keniscayaan, keputusasaan, dan “keterlemparan” manusia ke dalam dunia tempat dia sendiri bertanggung jawab atas pemenjadiannya. Humanisme eksistensial juga mencakup dalil humanistik bahwa manusia memiliki potensi yang besar untuk mentransformasikan dirinya sendiri sebagai suatu dorongan yang tidak bisa ditekan kepada pengalaman pemenuhan dalam menguji batas-batas potensi itu terhadap hambatan-hambatan yang inheren pada keberadaannya.

Pandangan Tentang Sifat Manusia
     Psikologi eksistensial-humanistik berfokus pada kondisi manusia, terutama suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia alih-alih suatu sistem teknik-teknik yang digunakan untuk mempengaruhi klien. Pendekatan eksistensial-humanistik tidak mengecilkan manusia menjadi kumpulan naluri ataupun hasil pengkondisian. Pendekatan ini bukan suatu aliran terapi, bukan pula suatu teori tunggal yang sistematik.

Tujuan-Tujuan Terapeutik
     Terapi ini bertujuan agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya. Pada dasarnya, tujuan terapi eksistensial adalah memperluas kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya. Selain itu, juga bertujuan untuk membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubung dengan tindakan memilih diri, dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekedar korban kekuatan-kekuatan deterministik di luar dirinya.
     Dalam mencapai tujuan dari terapi ini, dibutuhkan peran serta fungsi dari terapis. Tugas utama terapis adalah berusaha mamahami klien sebagai ada dalam dunia. Teknik yang digunakan mengikuti alih-alih mendahului pemahaman. Karena menekankan pemahaman klien sekarang, para terapis eksistensial menunjukkan keleluasaan dalam menggunakan metode-metode, dan prosedur yang digunakan oleh mereka bisa bervariasi tidak hanya dari klien satu kepada klien lainnya, tetapi juga dari satu ke lain fase terapi yang dijalani oleh klien yang sama. Dikalangan terapis eksistensial dan humanistik ada kesepakatan menyangkut tugas-tugas dan tanggung jawab terapis.

Teknik-Teknik Dan Prosedur-Prosedur Terapeutik
     Tidak seperti kebanyakan pendekatan terapi, pendekatan eksistensial-humanistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Prosedur-prosedur terapeutik bisa dipungut dari beberapa pandekatan terapi lainnya. Metode-metode yang berasal dari terapi Gestalt dan Analisis Transaksional sering digunakan, dan sejumlah prinsip dan prosedur psikoanalisis bisa diintegrasikan ke dalam pendekatan eksistensial-humanistik.
     Bugental dalam bukunya The Search for Authenticity (1965) menunjukkan bahwa konsep inti pskoanalisis tentang resistensi dan transferensi bisa diterapkan dalam filsafat dan praktek terapi eksistensial. Rollo May (dalam Corey, 2009) seorang psikoanalisis Amerika, juga telah mengintegrasikan metodologi dan konsep-konsep psikoanalisis ke dalam psikoterapi eksistensial.
     Menurut Corey (2009), meskipun pendekatan eksistensial-humanistik memiliki banyak hal yang bisa diberikan kepada klien yang fungsi psikologis dan fungsionalnya relatif tinggi, pendekatan eksistensial-humanistik ini amat terbatas penerapannya pada para klien yang fungsinya rendah, pada para klien yang berada dalam keadaan krisis, dan pada para klien yang miskin. Para klien yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok untuk memelihara kelangsungan hidupnya dan yang tidak berminat pada aktualisasi diri atau makna-makna eksistensial, kurang tepat untuk ditangani melalui terapi eksistensial-humanistik.

Sumber : Corey, G. (2009). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.

CLIENT-CENTERED THERAPY

     Konsep dasar dari client-centered therapy adalah bahwa inidividu memiliki kecenderungan untuk mengakutalisasikan diri (actualizing tendencies) yang berfungsi satu sama lain dalam sebuah organisme. Para terapis lebih terfokus pada “potensi apa yang dapat dimanfaatkan”. Didalam terapi, terdapat dua kondisi inti: congruence dan unconditional positive regard. Congruence merujuk pada bagaimana terapis dapat mengasimilasikan dan menggiring pengalaman agar klien sadar dan memaknai pengalaman tersebut. Unconditional positive regard adalah bagaimana terapis dapat menerima klien apa adanya, di mana terapis membiarkan dan menerima apa yang klien ucapkan, pikirkan, dan lakukan. Di samping itu , terdapat juga sejumlah konsep dasar dari sisi klien, yakni self-concept, locus of evaluation, dan experiencing Self concept merujuk pada bagaimana klien memandang-memikirkan-menghargai diri sendiri. Locus of evaluation merujuk dari sudut pandang mana klien menilai diri. Orang yang bermasalah akan terlalu menilai diri mereka berdasar persepsi orang lain (eksternal). Experiencing, adalah proses di mana klien mengubah pola pandangnya, dari yang kaku dan terbatas menjadi lebih terbuka.
     Ada beberapa konsep-konsep kepribadian yang dikemukakan Rogers, yaitu:
1.    Pengalaman, yakni alam subjektif dari individual, di mana hanya indidivu spesifik yang benar-benar memahami alam subjektif dirinya sendiri;
2.    Realitas, yaitu persepsi individual terhadap lingkungan sekitarnya yang subjektif, di mana perubahan terhadap persepsi akan memengaruhi pandangan individu terhadap dirinya;
3.    Kecenderungan individu untuk bereaksi sebagai keseluruhan yang beraturan (organized whole), di mana individu cenderung bereaksi terhadap apa yang penting bagi mereka (skala prioritas);
4.    Kecenderungan individu untuk melakukan aktualisasi, di mana individu pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk menunjukkan potensi diri mereka, bahkan meskipun apa yang mereka lakukan (dan pikirkan) irasional;
5.    Kerangka acuan internal yakni bagaimana individu memandang dunia dengan cara unik mereka sendiri;
6.    Self atau diri, yakni bagaimana individu memandang secara keseluruhan hubungan  aku (I) dan diriku (me), dan bagaimana hubungan keduanya dengan lingkungan;
7.    Simbolisasi, di mana individu menjadi sadar dengan pengalamannya, dan simbolisasi itu seringkali muncul secara konsisten dengan konsep diri;
8.    Penyesuaian psikologis, di mana keberadaan congruence antara konsep diri dan persepsi individu akan menjadikan individu dapat melakukan penyesuaian psikologis (dan sebaliknya);
9.    Proses penilaian organis, di mana individu membuat penilaian pribadi berdasarkan nilai yang dianutnya; dan
10.    Orang yang berfungsi sepenuhnya, di mana orang-orang seperti ini adalah mereka yang mampu merasakan pengalamannya, terbuka terhadap pengalaman, dan tidak takut akan apa yang mereka sedang dan mungkin alami.

Terapis
Dalam tipe Rogerian terapis bersifat pasif. Ada 3 formulasi penting yang harus dilakukan terapis, yaitu:
1.    Kongruensi (keselarasan antara pikiran dan perilaku terapis, terapis terbuka dan natural),
2.    Empati (persepsi akurat tentang perasaan orang lain, terapis benar-benar ikut merasakan hal yang dirasa klien), dan
3.    Anggapan positif tanpa syarat (tidak menghakimi, terapis menerima klien apa adanya tanpa membedakan baik dan buruk) (Sundberg et al, 2002).
     Tugas terapis adalah sebagai fasilitator pasif yang mendorong klien untuk bertanggung jawab dalam menentukan arah atau tindakannya sendiri dengan menciptakan iklim terapeutik, terapis menggunakan perasaannya dalam menghadapi klien (Corsini & Wedding, 2011), terapis menjadi observer menggunakan seluruh inderanya (Capuzzi & Gross, 1991).

Hubungan Antara Terapi Dan Klien
     Client-centered therapy (CCT) menekankan pada sikap dan kepercayaan dalam proses terapi antara terapis dengan klien. Efektifitas dari pendekatan terapi ini adalah pada sifat kehangatan, ketulusan, penerimaan nonposesif dan empati yang akurat. Client-centered therapy beranggapan bahwa klien sanggup menentukan dan menjernihkan tujuan-tujuannya sendiri. Perlu adanya respek terhadap klien dan keberanian pada seorang terapis untuk mendorong klien agar bersedia mendengarkan dirinya sendiri dan mengikuti arah-arahannya sendiri terutama pada saat klien membuat pilihan-pilihan yang bukan merupakan pilihan yang diharapkan terapis. CCT membangun hubungan yang membantu, dimana klien akan mengalami kebebasan untuk mengeksplorasi area-area kehidupannya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Dalam Suasana ini klien merupakan narator aktif yang membangun terapi secara interaktif dan sinergis untuk perubahan yang positif. CCT cenderung spontan dan responsif terhadap permintaan klien bila memungkinkan. Seperti permintaan untuk mengubah jadwal terapi dan membuat panggilan telepon pada terapis.

Teknik
     Tidak ada metode atau teknik yang spesifik. Karena CCT menitikberatkan pada sikap-sikap terapis. Namun ada beberapa teknik dasar yang harus dimiliki terapis yaitu mendengarkan klien secara aktif, merefleksikan perasaan klien, dan kemudian menjelaskannya (Corsini & Wedding, 2011).

Proses & Aplikasi
Wawancara awal  digunakan untuk:
1.    Menjelaskan apa yang akan dilakukan terapi dan apa yang diharapkan dari klien, kontrak terapeutik (tujuan, harapan, kapan, dimana, lama, keterbatasan, dan lain-lain);
2.    Mengetahui apa yang menjadi masalah klien, lalu untuk sampai pada diagnosis, selanjutnya menentukan apakah klien dapat diobati apa tidak (Natiello, 1994). Terapis bersama klien mengkaji dan mendiskusikan apa yang telah dipelajari klien selama terapi berlangsung, dan dapat di aplikasi pada kehidupan sehari-hari. Terapi dapat berakhir jika tujuan telah tercapai, klien tidak melanjutkan lagi, atau terapis tidak dapat lagi menolong kliennya (merujuk ke ahli lain).

Ciri-ciri psikoterapi adalah sebagai berikut:
1.    Proses:  Interaksi dua pihak, formal, profesional, legal, etis;
2.    Tujuan: Perubahan kondisi psikologis individu menjadi  pribadi yang positif atau optimal (afektif, kognitif, perilaku atau kebiasaan);
3.    Tindakan, berdasar: ilmu (teori), teknik, skill yang formal, assessment (data yang diperoleh melalui proses assessment-wawancara, observasi, tes, dan sebagainya) (Gerald Corey, 2009).

     Paradigma tradisional (CCT) menegaskan bahwa perubahan adalah bagian dari “menggali” perasaan atau pengalaman yang mendistorsi konsep diri, sehingga menyebabkan kecemasan. Mekanisme terapeutik berlandaskan hubungan aku-kamu, atau hubungan pribadi ke pribadi dalam keamanan dan penerimaan yang mendorong klien  menanggalkan pertahanan-pertahanannya serta menerima dan mengintegrasikan aspek-aspek sistem dirinya yang sebelumnya diingkari atau didistorsi. (Zimring, 2000).
     Terapis harus berasumsi bahwa terapi umumnya berlaku untuk siapa pun, terlepas dari label diagnostik, bertumpu pada keyakinan bahwa orang itu mempunyai ekspresi diri antara diri dan gangguan, diri dan lingkungan. (Mearns, 2003; Rogers, 1951). Pendekatan ini menggunakan teknik dasar mencakup mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan-perasaan; menjelaskan, dan “hadir” bagi klien, namun tidak memasukkan pengetesan diagnostik, penafsiran, kasus sejarah, dan bertanya atau menggali informasi.

Sumber: dari berbagai sumber.

TERAPI PSIKOANALISIS

Psikoanalisis adalah sebuah model perkembangan kepribadian, filsafat tentang sifat manusia dan metode psikoterapi

Secara historis → aliran pertama dari 3 aliran utama psikologi

Sumbangan Utama Psikoanalisis:
1.    Kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami, dan pemahaman terhadap sifat manusia bias diterapkan pada perbedaan penderitaan manusia
2.    Tingkah laku diketahui sering ditentukan oleh faktor tak sadar
3.    Perkembangan pada masa dini kanak-kanak memiliki pengaruh yg kuat terhadap kepribadian dimasa dewasa
4.    Teori psikoanalisis menyediakan kerangka kerja yang berharga untuk memahami cara-cara yg digunakan oleh individu dalam mengatasi kecemasan
5.    Terapi psikoanalisis telah memberikan cara-cara mencari keterangan dari ketidaksadaran melalui analisis atas mimpi-mimpi

Konsep-Konsep Utama Terapi Psikoanalisis
1.    Struktur Kepribadian
-    Id
-    Ego
-    Super Ego
2.    Pandangan tentang Sifat Manusia
Pandangan Freud tentang sifat manusia pada dasarnya pesimistik, deterministic, mekanistik, dan reduksionistik
3.    Kesadaran dan Ketidaksadaran
Konsep Ketaksadaran:
-    Mimpi-mimpi → merupakan representative simbolik dari kebutuhan-kebutuhan, hasrat-hasrat  konflik
-    Salah ucap atau lupa → terhadap nama yang dikenal
-    Sugesti Pascahipnotik
-    Bahan-bahan yang berasal dari teknik-teknik asosiasi bebas
-    Bahan-bahan yang berasal dari teknik proyektif
4.    Kecemasan
Suatu keadaan yang memotivasi kita untuk berbuat sesuatu
Fungsi → memperingatkan adanya ancaman bahaya
3 macam kecemasan:
-    Kecemasan realistis
-    Kecemasan neurotic
-    Kecemasan moral

Tujuan Terapi Psikoanalisis
1.    Membentuk kembali struktur karakter individu dengan jalan membuat kesadaran yang tak disadari didalam diri klien
2.    Fokus pada upaya mengalami kembali pengalaman masa anak-anak

Fungsi dan Peran Terapis
1.    Terapis atau analis membiarkan dirinya anonim serta hanya berbagi sedikit perasaan dan pengalaman sehingga klien memproyeksikan dirinya kepada terapis dan analis
2.    Peran terapis
-    Membantu klien dalam mencapai kesadaran diri, kejujuran, keefektifan dalam melakukan hubungan personal dalam menangani kecemasan secara realistis
-    Membangun hubungan kerja dengan klien, dengan banyak mendengar dan menafsirkan
-    Terapis memberikan perhatian khusus pada penolakan-penolakan klien
-    Mendengarkan kesenjangan-kesenjangan dan pertentangan-pertentangan pada cerita klien

Pengalaman Klien dalam Terapi
-    Bersedia melibatkan diri kedalam proses terapi yg intensif dan berjangka panjang
-    Mengembangkan hubungan dengan analis atau terapis
-    Mengalami krisis treatment
-    Memperoleh pemahaman atas masa lampau klien yang tak disadari
-    Mengembangkan resistensi-resistensi untuk belajar lebih banyak tentang diri sendiri
-    Mengembangkan suatu hubunghan transferensi yang tersingkap
-    Memperdalam terapi
-    Menangani resistensi-resistensi dan masalah yang terungkap
-    Mengakhiri terapi

Hubungan Terapis dan Klien
1.    Hubungan dikonseptualkan dalam proses tranferensi yang menjadi inti Terapi Psikoanalisis
2.    Transferensi mendorong klien untuk mengalamatkan pada terapis “urusan yang belum selesai” yang terdapat dalam hubungan klien dimasa lalu dengan orang yang berpengaruh
3.    Sejumlah perasaan klien timbul dari konflik-konflik seperti percaya lawan tak percaya, cinta lawan benci
4.    Transferensi terjadi pada saat klien membangkitkan kembali konflik masa dininya yang menyangkut cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan, dan dendamnya
5.    Jika analis mengembangkan pandangan yang tidak selaras yang berasal dari konflik-konflik sendiri, maka akan terjadi kontra transferensi
-    Bentuk kontratransferensi → perasaan tdk suka atau keterikatan dan keterlibatan yang berlebihan
-    Kontratransferensi dapat mengganggu kemajuan terapi

Teknik Dasar Terapi Psikoanalisis
1.    Asosiasi Bebas
Suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lalu dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi-situasi traumatik di masa lalu
2.    Penafsiran
Suatu prosedur dalam menganalisa asosiasi-asosiasi bebas, mimpi-mimpi, resistensi-resistensi dan transferensi
Bentuknya: tindakan analis yang menyatakan, menerangkan, bahkan mengajari klien makna-makna tingkah laku
3.    Analisis Mimpi
Suatu prosedur yang penting untuk menyingkap bahan-bahan yang tidak disadari dan memberikan kepada klien atas beberapa area masalah yang tak terselesaikan
4.    Analisis dan Penafsiran Resistensi
Ditujukan untuk membantu klien agar menyadari alasan-alasan yang ada dibalik resistensi sehingga dia bias menanganinya
5.    Analisis & Penafsiran Transferensi
Teknik utama dalam Psikoanalisis karena mendorong klien untuk menghidupkan kembali masa lalu nya dalam terapi

Sumber: indryawati.staff.gunadarma.ac.id