Bukittinggi City

Senin, 25 Maret 2013

TERAPI PSIKOANALISIS



TERAPI PSIKOANALITIK merupakan sumbangsih paling berharga dari seorang Sigmund Freud terhadap psikoterapi modern. Walaupun gagasan-gasan mengenai teorinya lebih bersifat subjektif daripada ilmiah, toh tak menghalangi Freud untuk masuk ke dalam deretan tokoh paling berpengaruh dalam sejarah via Michael H. Hart. Ini membuktikan bahwa, dari ketidakilmiahan teorinya, masih ada sedikit kebenaran yang dapat diambil, setidaknya menjadi bahan renungan bagi kita yang hidup tak semasa dengannya.

1. Definisi
Terapi psikoanalitik terdiri dari dua kata, yaitu “terapi” dan “psikoanalitik”. Secara eksplisit, “terapi” dalam psikologi berarti perawatan masalah-malah tingkah laku. Sedangkan “psikoanalitik” merujuk pada metode psikoterapi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud.
Dengan demikian, terapi psikoanalitik dapat dipahami sebagai perawatan yang dikembangkan oleh Freud, dengan memusatkan perhatian pada pengidentifikasian penyebab-penyebab tak sadar dari tingkah laku abnormal dengan menggunakan metode hipnotis, asosiasi bebas, analisis mimpi, transferensi, dan penafsiran.

2. Metode
Ketika Freud menghadapi pasiennya, dia selalu tenang, dan menyuruh pasiennya itu berbaring di sofa untuk menceritakan segala hal. Bagi Freud, metode semacam itu cukup ampuh untuk membantu pasien ke luar dari masalah psikisnya. Lalu, apa “metode” itu? Dalam psikoanalsis Freud, metode diterjemahkan sebagai cara yang digunakan untuk membantu pasien dalam memperoleh pemahaman mengenai konflik-konflik tak sadar yang dia alami sekaligus memecahkannya.
Secara umum, ada sekitar lima metode yang digunakan Freud, yaitu hipnotis (pada masa awal), asosiasi bebas, analisis mimpi, transferensi, dan penafsiran.

a. Hipnotis
Awal kemunculan hipnotis diperkirakan sekitar tahun 1700-an, ketika itu, seorang dokter Wina bernama Franz Anton Mesmer memperlihatkan suatu teknik animal magnetism, tapi kemudian berubah menjadi hipnotisme karena penekanan dari teknik tersebut dialihkan untuk menimbulkan suatu keadaan kesadaran yang berubah melalui sugesti verbal. Pada abad ke-19, Jean-Martin Charcot, seorang dokter Prancis yang hidup sekitar tahun 1825-1893 itu melihat hipnotis sebagai cara untuk membantu orang-orang supaya menjadi santai. Pada tahun yang tidak diketahui, di Paris, Charcot melakukan eksperimen dengan menggunakan hipnotis untuk menangani hysteria, yaitu suatu kondisi di mana seseorang mengalami kelumpuhan atau mati rasa yang tidak dapat dijelaskan oleh pelbagai macam penyebab fisik.
Pada saat demonstrasi eksperimen Charcot itu, terdapat seorang dokter muda asal Wina, yang diketahui belakangan bernama Sigmund Freud. Freud berpikir waktu itu dan menyimpulkan bahwa apapun faktor psikologis yang menyebabkan histeria, faktor-faktor itu pasti terletak di luar area kesadaran. Dan pada saat itulah, Freud belajar dan menggunakan hipnotis untuk melihat alam tak sadar manusia. Hanya beberapa tahun Freud akrab dengan hipnotis, dia meninggalkannya karena dirasa hipnotis tidak efektif seperti metode-metode lainnya, dan sejak kesadaran akan hal tersebut, Freud benar-benar tidak menggunakannya lagi. Walau demikian, jejak rekamnya tentu saja sulit dilupakan orang. Sebagai seorang psikolog yang pernah menggunakan metode hipnotis, orang akan sangat sulit melupakannya bahwa Freud pernah menggunakan hipnotis pada awal kepraktikannya sebagai seorang psikiatri, walau Freud sendiri sudah tidak pernah lagi menggunakannya.
Hipnotis? Adalah suatu prosedur yang menyebabkan sensasi, persepsi, pikiran, perasaan, atau tingkah laku berubah karena disugesti. Huffman, dkk. (1997) seperti ditulis Semiun (h. 555) mengidentifikasi individu yang dihipnotis, bahwa dia yang dihipnotis itu (1) perhatiannya dipersempit dan terfokus, (2) menjadikannya sangat mudah menggunakan imajinasi dan pelbagai halusinasi, (3) sikap individu itu menjadi pasif dan reseptif, (4) tanggapan terhadap rasa sakit berkurang, dan (5) sangat mudah sekali disugesti, dengan kata lain, kesediannya untuk mengadakan respon terhadap perubahan-perubahan persepsi meningkat.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008), kita akan temukan bahwa hipnotis itu suatu perbuatan yang membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam keadaan hipnosis, yaitu keadaan seperti tidur karena sugesti, yang dalam taraf permulaan orang itu berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali. Dalam terapi psikoanalitik, hipnotis digunakan oleh Freud pada tahap awal kepraktikannya bersama seorang neurolog Prancis kenamaan Jean Charcot dan dokter asal Wina Josef Breuer saat menangani pasien yang mengidap histeria.

b. Asosiasi Bebas
Free Association, buku karangan Bollas (2002) yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Winarno (2003) menjadi Asosiasi Bebas merupakan acuan utama dalam menjabarkan hal ihwal asosiasi bebasnya Freud. Dalam buku setebal seratus halaman tersebut, asosiasi bebas secara sederhana didefinisikan sebagai bicara bebas, yaitu sesuatu yang tidak lebih dari berbicara tentang apa yang terlintas dalam pikiran, beralih dari satu topik menuju topik lain dalam suatu urutan yang bergerak bebas serta tidak mengikuti agenda tertentu.
Dan dalam sebuah kesempatan, salah satu pasien Freud, seperti dikutip Wade & Tavris (2008: 383) menyebut metode free association sebagai “penyembuhan dengan bicara”. Dijelaskan kemudian, bahwa asosiasi bebas merupakan proses mengatakan apapun yang terlintas dalam pikiran secara bebas, berkaitan dengan mimpi, fantasi, atau konflik tanpa memberikan komentar apapun. Sedangkan Goble (1991: 137), menjelaskan asosiasi bebas sebagai suatu teknik di mana pasien, dalam keadaan rileks, biasanya berbaring di atas dipan, berbicara tentang apa saja yang melintas dalam pikirannya, tanpa terlalu banyak dipotong.
Senada dengan ketiga tokoh di atas, Nevid, dkk. (2009: 104) menerjemahkan asosiasi bebas sebagai suatu metode [terapi psikoanalitik] untuk melakukan verbalisasi pikiran-pikiran yang muncul pada saat itu tanpa usaha yang sadar untuk mengedit atau menyensornya.
Dari pelbagai pendapat di atas, dapat kita simpulkan bahwa, asosiasi bebas atau free association adalah suatu metode terapi yang dirancang untuk memberikan kebebasan secara total kepada pasien dalam mengungkapkan segala apa yang terlintas di benaknya, termasuk mimpi-mimpi, pelbagai fantasi, dan hal-hal konflik dalam dirinya tanpa diagenda, dikomentari, ataupun banyak dipotong, apalagi disensor.
Asosiasi bebas, sebagai suatu metode terapi, tentu saja memiliki tujuan. Salah satunya, adalah apa yang disebutkan oleh Goble (1991: 137) sebagai berikut, “Teori yang mendasarinya [asosiasi bebas] ialah bahwa lewat diskusi yang kelihatannya tanpa tujuan ini, dilengkapi dengan analisis terhadap mimpi-mimpi pasien, maka pasien itu akan menjadi insaf tentang kejadian-kejadian di masa lalunya yang telah menyebabkan atau tengah menjadi sebab bagi kesulitannya [sekarang].”
Sebagai contoh, sebagaimana dikutip dari Goble (1991: 138), adalah “seorang mahasiswi suatu kolose meminta nasihat mengenai suatu masalah. Sejam kemudian, sesudah puas [d]ia berbicara, sementara selama itu sang terapisnya sendiri tidak mengatakan sepatah kata pun, [d]ia telah memecahkan masalahnya secara memuaskan dan berterima kasih sedalam-dalamnya kepada sang terapis atas jasa-jasa keahliannya.”
Dengan demikian, asosiasi bebas menunjukkan kesanggupannya untuk dapat dikatakan sebagai suatu metode terapi. Bahkan Maslow pernah mewawancarai 34 orang yang baru menjalani pelbagai terapi (salah satunya yang paling dominan adalah asosiasi bebas) dalam suatu tahun terakhir. “Dua puluh empat di antaranya melaporkan bahwa mereka sangat puas dengan bantuan yang telah mereka terima dan bahwa bantuan tersebut sungguh-sungguh menolong mereka.” Maslow sendiri, rupa-rupanya, walau tidak termasuk ke dalam neofreudian, telah mempraktikan asosiasi bebas dalam praktiknya sebagai psikolog.

c. Analisis Mimpi
Mimpi, dipercaya Freud sebagai “jalan yang sangat baik menuju ketaksadaran”. Hal tersebut didasari kepercayaan Freud bahwa mimpi itu perwujudan dari materi atau isi yang tidak disadari, yang memasuki kesadaran lewat yang tersamar. Dalam hal ini, mimpi mengandung muatan manifes atau manifest content dan content latent atau muatan laten. Yang disebut pertama merupakan materi mimpi yang dialami dan dilaporkan. Sedangkan yang disebut kemudian, ialah materi bawah sadar yang disimbolisasikan atau diwakili oleh mimpi.
Sebagai contoh, Tedi bermimpi terbang menaiki Garuda Indonesia. “Terbang” adalah muatan yang tampak atau muatan manifes dari mimpi. Freud percaya bahwa “terbang” merupakan simbol dari ereksi, jadi mungkin muatan laten dari mimpi merefleksikan isi bawah sadar yang berkaitan dengan ketakutan akan impotensi.
Analisis mimpi, sebenarnya lebih dapat dipahami sebagai suatu bentuk asosiasi bebas, tapi dalam konsep Freud, mimpi merupakan suatu bentuk kegiatan mental yang sangat terorganisasi sehingga patut diperhatikan secara khusus. Bukunya yang terbit tahun 1900, yaitu The Interpretation of Dream menjadi bukti konkret akan bentuk perhatian khusus itu.

d. Transferensi
Dalam psikoanalitik Freud, transferensi berarti proses pemindahan emosi-emosi yang terpendam atau ditekan sejak awal masa kanak-kanak oleh pasien kepada terapis. Transferensi dinilai sebagai alat yang sangat berharga bagi terapis untuk menyelidiki ketaksadaran pasien karena alat ini mendorong pasien untuk menghidupkan kembali pelbagai pengalaman emosional dari tahun-tahun awal kehidupannya.
Transferensi pada tahap yang paling kritis berefek abreaksi (pelepasan tegangan emosional) pada pasien. Efek lain yang mungkin, ada dua, yaitu positif dan negatif. Positif: saat pasien secara terbuka mentransferkan perasaan-perasaannya sehingga menyebabkan kelekatan, ketergantungan, bahkan cinta kepada terapis. Negatif: tatkala kebencian, ketidaksabaran, dan kadang-kadang perlawanan yang keras terhadap terapis. Dan ini dapat berefek fatal terhadap proses terapi.

e. Penafsiran
Penafsiran itu sendiri adalah penjelasan dari psikoanalis tentang makna dari asosiasi-asosiasi, pelbagai mimpi, dan transferensi dari pasien. Sederhananya, yaitu setiap pernyataan dari terapis yang menafsirkan masalah pasien dalam suatu cara yang baru. Penafsiran oleh analis harus memperhatikan waktu. Dia harus dapat memilah atau memprediksi kapan waktu yang baik dan tepat untuk membicarakan penafsirannya kepada pasien.
Karena penafsiran merupakan masalah yang begitu kritis, analis harus benar-benar menyadari mekanisme-mekanisme dan pelbagai dorongan untuk mempertahankan dirinya sebab kalau tidak dia akan jatuh ke dalam perangkap penafsiran terhadap pelbagai perasaan dan pikiran dinamik pasien menurut sederet pengalaman dan masalah hidup analis sendiri. Inilah alasannya mengapa psikoanalis harus menjalani analisis diri pribadi.

Sumber: http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2010/12/27/terapi-psikoanalitik-328149.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar