TERAPI PSIKOANALITIK merupakan sumbangsih paling berharga dari seorang Sigmund Freud terhadap psikoterapi
modern. Walaupun gagasan-gasan mengenai teorinya lebih bersifat subjektif
daripada ilmiah, toh tak menghalangi Freud untuk masuk ke dalam deretan
tokoh paling berpengaruh dalam sejarah via Michael H. Hart. Ini membuktikan
bahwa, dari ketidakilmiahan teorinya, masih ada sedikit kebenaran yang dapat
diambil, setidaknya menjadi bahan renungan bagi kita yang hidup tak semasa
dengannya.
1. Definisi
Terapi
psikoanalitik terdiri dari dua kata, yaitu “terapi” dan “psikoanalitik”. Secara
eksplisit, “terapi” dalam psikologi berarti perawatan masalah-malah tingkah
laku. Sedangkan “psikoanalitik” merujuk pada metode psikoterapi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud.
Dengan demikian, terapi psikoanalitik dapat dipahami sebagai perawatan yang
dikembangkan oleh Freud, dengan memusatkan perhatian pada pengidentifikasian
penyebab-penyebab tak sadar dari tingkah laku abnormal dengan menggunakan
metode hipnotis, asosiasi bebas, analisis mimpi, transferensi, dan penafsiran.
2. Metode
Ketika Freud menghadapi pasiennya, dia selalu tenang,
dan menyuruh pasiennya itu berbaring di sofa untuk menceritakan segala hal.
Bagi Freud, metode semacam itu cukup ampuh untuk membantu pasien ke luar dari
masalah psikisnya. Lalu, apa “metode” itu? Dalam psikoanalsis Freud, metode
diterjemahkan sebagai cara yang digunakan untuk membantu pasien dalam
memperoleh pemahaman mengenai konflik-konflik tak sadar yang dia alami
sekaligus memecahkannya.
Secara umum, ada sekitar lima metode
yang digunakan Freud, yaitu hipnotis (pada masa awal), asosiasi bebas, analisis
mimpi, transferensi, dan penafsiran.
a. Hipnotis
Awal kemunculan hipnotis diperkirakan sekitar tahun
1700-an, ketika itu, seorang dokter Wina bernama Franz Anton Mesmer
memperlihatkan suatu teknik animal magnetism, tapi kemudian berubah
menjadi hipnotisme karena penekanan dari teknik tersebut dialihkan untuk
menimbulkan suatu keadaan kesadaran yang berubah melalui sugesti verbal. Pada
abad ke-19, Jean-Martin Charcot, seorang dokter Prancis yang hidup sekitar
tahun 1825-1893 itu melihat hipnotis sebagai cara untuk membantu orang-orang
supaya menjadi santai. Pada tahun yang tidak diketahui, di Paris, Charcot
melakukan eksperimen dengan menggunakan hipnotis untuk menangani hysteria,
yaitu suatu kondisi di mana seseorang mengalami kelumpuhan atau mati rasa yang
tidak dapat dijelaskan oleh pelbagai macam penyebab fisik.
Pada saat demonstrasi eksperimen
Charcot itu, terdapat seorang dokter muda asal Wina, yang diketahui belakangan
bernama Sigmund Freud. Freud berpikir waktu itu dan menyimpulkan bahwa apapun
faktor psikologis yang menyebabkan histeria, faktor-faktor itu pasti terletak
di luar area kesadaran. Dan pada saat itulah, Freud belajar dan menggunakan hipnotis untuk melihat
alam tak sadar manusia. Hanya beberapa
tahun Freud akrab dengan hipnotis, dia meninggalkannya karena dirasa hipnotis
tidak efektif seperti metode-metode lainnya, dan sejak kesadaran akan hal
tersebut, Freud benar-benar tidak menggunakannya lagi. Walau demikian, jejak
rekamnya tentu saja sulit dilupakan orang. Sebagai seorang psikolog yang pernah
menggunakan metode hipnotis, orang akan sangat sulit melupakannya bahwa Freud
pernah menggunakan hipnotis pada awal kepraktikannya sebagai seorang psikiatri,
walau Freud sendiri sudah tidak pernah lagi menggunakannya.
Hipnotis? Adalah suatu prosedur yang menyebabkan sensasi, persepsi,
pikiran, perasaan, atau tingkah laku berubah karena disugesti. Huffman, dkk.
(1997) seperti ditulis Semiun (h. 555) mengidentifikasi individu yang
dihipnotis, bahwa dia yang dihipnotis itu (1) perhatiannya dipersempit dan
terfokus, (2) menjadikannya sangat mudah menggunakan imajinasi dan pelbagai
halusinasi, (3) sikap individu itu menjadi pasif dan reseptif, (4) tanggapan
terhadap rasa sakit berkurang, dan (5) sangat mudah sekali disugesti, dengan
kata lain, kesediannya untuk mengadakan respon terhadap perubahan-perubahan
persepsi meningkat.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008), kita akan temukan bahwa hipnotis itu
suatu perbuatan yang membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam keadaan
hipnosis, yaitu keadaan seperti tidur karena sugesti, yang dalam taraf
permulaan orang itu berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugestinya,
tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali. Dalam terapi
psikoanalitik, hipnotis digunakan oleh Freud pada tahap awal kepraktikannya
bersama seorang neurolog Prancis kenamaan Jean Charcot dan dokter asal Wina
Josef Breuer saat menangani pasien yang mengidap histeria.
b. Asosiasi Bebas
Free Association, buku
karangan Bollas (2002) yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia
oleh Winarno (2003) menjadi Asosiasi Bebas merupakan acuan utama dalam
menjabarkan hal ihwal asosiasi bebasnya Freud. Dalam buku setebal
seratus halaman tersebut, asosiasi bebas secara sederhana didefinisikan sebagai
bicara bebas, yaitu sesuatu yang tidak lebih dari berbicara tentang apa yang
terlintas dalam pikiran, beralih dari satu topik menuju topik lain dalam suatu
urutan yang bergerak bebas serta tidak mengikuti agenda tertentu.
Dan dalam sebuah kesempatan, salah
satu pasien Freud, seperti dikutip Wade & Tavris (2008: 383) menyebut
metode free association sebagai “penyembuhan dengan bicara”. Dijelaskan kemudian, bahwa asosiasi bebas merupakan
proses mengatakan apapun yang terlintas dalam pikiran secara bebas, berkaitan
dengan mimpi, fantasi, atau konflik tanpa memberikan komentar apapun. Sedangkan
Goble (1991: 137), menjelaskan asosiasi bebas sebagai suatu teknik di mana pasien,
dalam keadaan rileks, biasanya berbaring di atas dipan, berbicara tentang apa
saja yang melintas dalam pikirannya, tanpa terlalu banyak dipotong.
Senada dengan ketiga tokoh di atas,
Nevid, dkk. (2009: 104) menerjemahkan asosiasi bebas sebagai suatu metode
[terapi psikoanalitik] untuk melakukan verbalisasi pikiran-pikiran yang muncul
pada saat itu tanpa usaha yang sadar untuk mengedit atau menyensornya.
Dari pelbagai pendapat di atas,
dapat kita simpulkan bahwa, asosiasi bebas atau free association adalah
suatu metode terapi yang dirancang untuk memberikan kebebasan secara total
kepada pasien dalam mengungkapkan segala apa yang terlintas di benaknya,
termasuk mimpi-mimpi, pelbagai fantasi, dan hal-hal konflik dalam dirinya tanpa
diagenda, dikomentari, ataupun banyak dipotong, apalagi disensor.
Asosiasi bebas, sebagai suatu metode terapi, tentu saja memiliki tujuan.
Salah satunya, adalah apa yang disebutkan oleh Goble (1991: 137) sebagai
berikut, “Teori yang mendasarinya [asosiasi bebas] ialah bahwa lewat diskusi
yang kelihatannya tanpa tujuan ini, dilengkapi dengan analisis terhadap
mimpi-mimpi pasien, maka pasien itu akan menjadi insaf tentang
kejadian-kejadian di masa lalunya yang telah menyebabkan atau tengah menjadi
sebab bagi kesulitannya [sekarang].”
Sebagai contoh, sebagaimana dikutip dari Goble (1991: 138), adalah “seorang
mahasiswi suatu kolose meminta nasihat mengenai suatu masalah. Sejam kemudian,
sesudah puas [d]ia berbicara, sementara selama itu sang terapisnya sendiri
tidak mengatakan sepatah kata pun, [d]ia telah memecahkan masalahnya secara
memuaskan dan berterima kasih sedalam-dalamnya kepada sang terapis atas
jasa-jasa keahliannya.”
Dengan demikian, asosiasi bebas menunjukkan kesanggupannya untuk dapat
dikatakan sebagai suatu metode terapi. Bahkan Maslow pernah mewawancarai 34
orang yang baru menjalani pelbagai terapi (salah satunya yang paling dominan
adalah asosiasi bebas) dalam suatu tahun terakhir. “Dua puluh empat di
antaranya melaporkan bahwa mereka sangat puas dengan bantuan yang telah mereka
terima dan bahwa bantuan tersebut sungguh-sungguh menolong mereka.” Maslow
sendiri, rupa-rupanya, walau tidak termasuk ke dalam neofreudian, telah
mempraktikan asosiasi bebas dalam praktiknya sebagai psikolog.
c. Analisis Mimpi
Mimpi, dipercaya Freud sebagai “jalan yang sangat baik
menuju ketaksadaran”. Hal tersebut didasari kepercayaan Freud bahwa mimpi itu
perwujudan dari materi atau isi yang tidak disadari, yang memasuki kesadaran
lewat yang tersamar. Dalam hal ini, mimpi mengandung muatan manifes atau manifest
content dan content latent atau muatan laten. Yang disebut pertama merupakan materi mimpi yang dialami dan dilaporkan.
Sedangkan yang disebut kemudian, ialah materi bawah sadar yang disimbolisasikan
atau diwakili oleh mimpi.
Sebagai contoh, Tedi bermimpi terbang
menaiki Garuda Indonesia. “Terbang”
adalah muatan yang tampak atau muatan manifes dari mimpi. Freud percaya bahwa
“terbang” merupakan simbol dari ereksi, jadi mungkin muatan laten dari mimpi
merefleksikan isi bawah sadar yang berkaitan dengan ketakutan akan impotensi.
Analisis mimpi, sebenarnya lebih dapat dipahami sebagai suatu bentuk
asosiasi bebas, tapi dalam konsep Freud, mimpi merupakan suatu bentuk kegiatan
mental yang sangat terorganisasi sehingga patut diperhatikan secara khusus. Bukunya yang
terbit tahun 1900, yaitu The Interpretation of Dream menjadi bukti
konkret akan bentuk perhatian khusus itu.
d. Transferensi
Dalam psikoanalitik Freud, transferensi berarti proses
pemindahan emosi-emosi yang terpendam atau ditekan sejak awal masa kanak-kanak
oleh pasien kepada terapis. Transferensi dinilai sebagai alat yang sangat
berharga bagi terapis untuk menyelidiki ketaksadaran pasien karena alat ini
mendorong pasien untuk menghidupkan kembali pelbagai pengalaman emosional dari
tahun-tahun awal kehidupannya.
Transferensi pada tahap yang paling
kritis berefek abreaksi (pelepasan tegangan emosional) pada pasien. Efek lain
yang mungkin, ada dua, yaitu positif dan negatif. Positif: saat pasien secara terbuka mentransferkan perasaan-perasaannya
sehingga menyebabkan kelekatan, ketergantungan, bahkan cinta kepada terapis.
Negatif: tatkala kebencian, ketidaksabaran, dan kadang-kadang perlawanan yang
keras terhadap terapis. Dan ini dapat berefek fatal terhadap proses terapi.
e. Penafsiran
Penafsiran itu
sendiri adalah penjelasan dari psikoanalis tentang makna dari
asosiasi-asosiasi, pelbagai mimpi, dan transferensi dari pasien. Sederhananya,
yaitu setiap pernyataan dari terapis yang menafsirkan masalah pasien dalam
suatu cara yang baru. Penafsiran oleh analis harus memperhatikan waktu. Dia
harus dapat memilah atau memprediksi kapan waktu yang baik dan tepat untuk
membicarakan penafsirannya kepada pasien.
Karena penafsiran merupakan masalah yang begitu kritis, analis harus
benar-benar menyadari mekanisme-mekanisme dan pelbagai dorongan untuk
mempertahankan dirinya sebab kalau tidak dia akan jatuh ke dalam perangkap
penafsiran terhadap pelbagai perasaan dan pikiran dinamik pasien menurut
sederet pengalaman dan masalah hidup analis sendiri. Inilah alasannya mengapa
psikoanalis harus menjalani analisis diri pribadi.
Sumber: http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2010/12/27/terapi-psikoanalitik-328149.html