Bukittinggi City

Senin, 25 Maret 2013

TERAPI PSIKOANALISIS



TERAPI PSIKOANALITIK merupakan sumbangsih paling berharga dari seorang Sigmund Freud terhadap psikoterapi modern. Walaupun gagasan-gasan mengenai teorinya lebih bersifat subjektif daripada ilmiah, toh tak menghalangi Freud untuk masuk ke dalam deretan tokoh paling berpengaruh dalam sejarah via Michael H. Hart. Ini membuktikan bahwa, dari ketidakilmiahan teorinya, masih ada sedikit kebenaran yang dapat diambil, setidaknya menjadi bahan renungan bagi kita yang hidup tak semasa dengannya.

1. Definisi
Terapi psikoanalitik terdiri dari dua kata, yaitu “terapi” dan “psikoanalitik”. Secara eksplisit, “terapi” dalam psikologi berarti perawatan masalah-malah tingkah laku. Sedangkan “psikoanalitik” merujuk pada metode psikoterapi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud.
Dengan demikian, terapi psikoanalitik dapat dipahami sebagai perawatan yang dikembangkan oleh Freud, dengan memusatkan perhatian pada pengidentifikasian penyebab-penyebab tak sadar dari tingkah laku abnormal dengan menggunakan metode hipnotis, asosiasi bebas, analisis mimpi, transferensi, dan penafsiran.

2. Metode
Ketika Freud menghadapi pasiennya, dia selalu tenang, dan menyuruh pasiennya itu berbaring di sofa untuk menceritakan segala hal. Bagi Freud, metode semacam itu cukup ampuh untuk membantu pasien ke luar dari masalah psikisnya. Lalu, apa “metode” itu? Dalam psikoanalsis Freud, metode diterjemahkan sebagai cara yang digunakan untuk membantu pasien dalam memperoleh pemahaman mengenai konflik-konflik tak sadar yang dia alami sekaligus memecahkannya.
Secara umum, ada sekitar lima metode yang digunakan Freud, yaitu hipnotis (pada masa awal), asosiasi bebas, analisis mimpi, transferensi, dan penafsiran.

a. Hipnotis
Awal kemunculan hipnotis diperkirakan sekitar tahun 1700-an, ketika itu, seorang dokter Wina bernama Franz Anton Mesmer memperlihatkan suatu teknik animal magnetism, tapi kemudian berubah menjadi hipnotisme karena penekanan dari teknik tersebut dialihkan untuk menimbulkan suatu keadaan kesadaran yang berubah melalui sugesti verbal. Pada abad ke-19, Jean-Martin Charcot, seorang dokter Prancis yang hidup sekitar tahun 1825-1893 itu melihat hipnotis sebagai cara untuk membantu orang-orang supaya menjadi santai. Pada tahun yang tidak diketahui, di Paris, Charcot melakukan eksperimen dengan menggunakan hipnotis untuk menangani hysteria, yaitu suatu kondisi di mana seseorang mengalami kelumpuhan atau mati rasa yang tidak dapat dijelaskan oleh pelbagai macam penyebab fisik.
Pada saat demonstrasi eksperimen Charcot itu, terdapat seorang dokter muda asal Wina, yang diketahui belakangan bernama Sigmund Freud. Freud berpikir waktu itu dan menyimpulkan bahwa apapun faktor psikologis yang menyebabkan histeria, faktor-faktor itu pasti terletak di luar area kesadaran. Dan pada saat itulah, Freud belajar dan menggunakan hipnotis untuk melihat alam tak sadar manusia. Hanya beberapa tahun Freud akrab dengan hipnotis, dia meninggalkannya karena dirasa hipnotis tidak efektif seperti metode-metode lainnya, dan sejak kesadaran akan hal tersebut, Freud benar-benar tidak menggunakannya lagi. Walau demikian, jejak rekamnya tentu saja sulit dilupakan orang. Sebagai seorang psikolog yang pernah menggunakan metode hipnotis, orang akan sangat sulit melupakannya bahwa Freud pernah menggunakan hipnotis pada awal kepraktikannya sebagai seorang psikiatri, walau Freud sendiri sudah tidak pernah lagi menggunakannya.
Hipnotis? Adalah suatu prosedur yang menyebabkan sensasi, persepsi, pikiran, perasaan, atau tingkah laku berubah karena disugesti. Huffman, dkk. (1997) seperti ditulis Semiun (h. 555) mengidentifikasi individu yang dihipnotis, bahwa dia yang dihipnotis itu (1) perhatiannya dipersempit dan terfokus, (2) menjadikannya sangat mudah menggunakan imajinasi dan pelbagai halusinasi, (3) sikap individu itu menjadi pasif dan reseptif, (4) tanggapan terhadap rasa sakit berkurang, dan (5) sangat mudah sekali disugesti, dengan kata lain, kesediannya untuk mengadakan respon terhadap perubahan-perubahan persepsi meningkat.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008), kita akan temukan bahwa hipnotis itu suatu perbuatan yang membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam keadaan hipnosis, yaitu keadaan seperti tidur karena sugesti, yang dalam taraf permulaan orang itu berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali. Dalam terapi psikoanalitik, hipnotis digunakan oleh Freud pada tahap awal kepraktikannya bersama seorang neurolog Prancis kenamaan Jean Charcot dan dokter asal Wina Josef Breuer saat menangani pasien yang mengidap histeria.

b. Asosiasi Bebas
Free Association, buku karangan Bollas (2002) yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Winarno (2003) menjadi Asosiasi Bebas merupakan acuan utama dalam menjabarkan hal ihwal asosiasi bebasnya Freud. Dalam buku setebal seratus halaman tersebut, asosiasi bebas secara sederhana didefinisikan sebagai bicara bebas, yaitu sesuatu yang tidak lebih dari berbicara tentang apa yang terlintas dalam pikiran, beralih dari satu topik menuju topik lain dalam suatu urutan yang bergerak bebas serta tidak mengikuti agenda tertentu.
Dan dalam sebuah kesempatan, salah satu pasien Freud, seperti dikutip Wade & Tavris (2008: 383) menyebut metode free association sebagai “penyembuhan dengan bicara”. Dijelaskan kemudian, bahwa asosiasi bebas merupakan proses mengatakan apapun yang terlintas dalam pikiran secara bebas, berkaitan dengan mimpi, fantasi, atau konflik tanpa memberikan komentar apapun. Sedangkan Goble (1991: 137), menjelaskan asosiasi bebas sebagai suatu teknik di mana pasien, dalam keadaan rileks, biasanya berbaring di atas dipan, berbicara tentang apa saja yang melintas dalam pikirannya, tanpa terlalu banyak dipotong.
Senada dengan ketiga tokoh di atas, Nevid, dkk. (2009: 104) menerjemahkan asosiasi bebas sebagai suatu metode [terapi psikoanalitik] untuk melakukan verbalisasi pikiran-pikiran yang muncul pada saat itu tanpa usaha yang sadar untuk mengedit atau menyensornya.
Dari pelbagai pendapat di atas, dapat kita simpulkan bahwa, asosiasi bebas atau free association adalah suatu metode terapi yang dirancang untuk memberikan kebebasan secara total kepada pasien dalam mengungkapkan segala apa yang terlintas di benaknya, termasuk mimpi-mimpi, pelbagai fantasi, dan hal-hal konflik dalam dirinya tanpa diagenda, dikomentari, ataupun banyak dipotong, apalagi disensor.
Asosiasi bebas, sebagai suatu metode terapi, tentu saja memiliki tujuan. Salah satunya, adalah apa yang disebutkan oleh Goble (1991: 137) sebagai berikut, “Teori yang mendasarinya [asosiasi bebas] ialah bahwa lewat diskusi yang kelihatannya tanpa tujuan ini, dilengkapi dengan analisis terhadap mimpi-mimpi pasien, maka pasien itu akan menjadi insaf tentang kejadian-kejadian di masa lalunya yang telah menyebabkan atau tengah menjadi sebab bagi kesulitannya [sekarang].”
Sebagai contoh, sebagaimana dikutip dari Goble (1991: 138), adalah “seorang mahasiswi suatu kolose meminta nasihat mengenai suatu masalah. Sejam kemudian, sesudah puas [d]ia berbicara, sementara selama itu sang terapisnya sendiri tidak mengatakan sepatah kata pun, [d]ia telah memecahkan masalahnya secara memuaskan dan berterima kasih sedalam-dalamnya kepada sang terapis atas jasa-jasa keahliannya.”
Dengan demikian, asosiasi bebas menunjukkan kesanggupannya untuk dapat dikatakan sebagai suatu metode terapi. Bahkan Maslow pernah mewawancarai 34 orang yang baru menjalani pelbagai terapi (salah satunya yang paling dominan adalah asosiasi bebas) dalam suatu tahun terakhir. “Dua puluh empat di antaranya melaporkan bahwa mereka sangat puas dengan bantuan yang telah mereka terima dan bahwa bantuan tersebut sungguh-sungguh menolong mereka.” Maslow sendiri, rupa-rupanya, walau tidak termasuk ke dalam neofreudian, telah mempraktikan asosiasi bebas dalam praktiknya sebagai psikolog.

c. Analisis Mimpi
Mimpi, dipercaya Freud sebagai “jalan yang sangat baik menuju ketaksadaran”. Hal tersebut didasari kepercayaan Freud bahwa mimpi itu perwujudan dari materi atau isi yang tidak disadari, yang memasuki kesadaran lewat yang tersamar. Dalam hal ini, mimpi mengandung muatan manifes atau manifest content dan content latent atau muatan laten. Yang disebut pertama merupakan materi mimpi yang dialami dan dilaporkan. Sedangkan yang disebut kemudian, ialah materi bawah sadar yang disimbolisasikan atau diwakili oleh mimpi.
Sebagai contoh, Tedi bermimpi terbang menaiki Garuda Indonesia. “Terbang” adalah muatan yang tampak atau muatan manifes dari mimpi. Freud percaya bahwa “terbang” merupakan simbol dari ereksi, jadi mungkin muatan laten dari mimpi merefleksikan isi bawah sadar yang berkaitan dengan ketakutan akan impotensi.
Analisis mimpi, sebenarnya lebih dapat dipahami sebagai suatu bentuk asosiasi bebas, tapi dalam konsep Freud, mimpi merupakan suatu bentuk kegiatan mental yang sangat terorganisasi sehingga patut diperhatikan secara khusus. Bukunya yang terbit tahun 1900, yaitu The Interpretation of Dream menjadi bukti konkret akan bentuk perhatian khusus itu.

d. Transferensi
Dalam psikoanalitik Freud, transferensi berarti proses pemindahan emosi-emosi yang terpendam atau ditekan sejak awal masa kanak-kanak oleh pasien kepada terapis. Transferensi dinilai sebagai alat yang sangat berharga bagi terapis untuk menyelidiki ketaksadaran pasien karena alat ini mendorong pasien untuk menghidupkan kembali pelbagai pengalaman emosional dari tahun-tahun awal kehidupannya.
Transferensi pada tahap yang paling kritis berefek abreaksi (pelepasan tegangan emosional) pada pasien. Efek lain yang mungkin, ada dua, yaitu positif dan negatif. Positif: saat pasien secara terbuka mentransferkan perasaan-perasaannya sehingga menyebabkan kelekatan, ketergantungan, bahkan cinta kepada terapis. Negatif: tatkala kebencian, ketidaksabaran, dan kadang-kadang perlawanan yang keras terhadap terapis. Dan ini dapat berefek fatal terhadap proses terapi.

e. Penafsiran
Penafsiran itu sendiri adalah penjelasan dari psikoanalis tentang makna dari asosiasi-asosiasi, pelbagai mimpi, dan transferensi dari pasien. Sederhananya, yaitu setiap pernyataan dari terapis yang menafsirkan masalah pasien dalam suatu cara yang baru. Penafsiran oleh analis harus memperhatikan waktu. Dia harus dapat memilah atau memprediksi kapan waktu yang baik dan tepat untuk membicarakan penafsirannya kepada pasien.
Karena penafsiran merupakan masalah yang begitu kritis, analis harus benar-benar menyadari mekanisme-mekanisme dan pelbagai dorongan untuk mempertahankan dirinya sebab kalau tidak dia akan jatuh ke dalam perangkap penafsiran terhadap pelbagai perasaan dan pikiran dinamik pasien menurut sederet pengalaman dan masalah hidup analis sendiri. Inilah alasannya mengapa psikoanalis harus menjalani analisis diri pribadi.

Sumber: http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2010/12/27/terapi-psikoanalitik-328149.html

Minggu, 24 Maret 2013

TERAPI HUMANISTIK-EKSISTENSIAL

     Pendekatan humanistik-eksistensial atau bisa disebut eksistensial-humanistik, menekankan renungan-renungan filosofis tentang apa artinya menjadi manusia yang utuh. Banyak ahli psikologi yang berorientasi eksistensial yang mengajukan argumen menentang pembatasan studi tingkah laku manusia pada metode-metode yang digunakan oleh ilmu pengetahuan alam. Terapi eksistensial berpijak pada premis bahwa manusia tidak bisa melarikan diri dari kebebasan dan bahwa kebebasan dan tanggung jawab itu saling berkaitan. Pendekatan eksistensial-humanistik memusatkan perhatian pada asumsi-asumsi filosofi yang melandasi terapi.
     Salah satu kritik terhadap pendekatan ini dalam praktik adalah bahwa terapi ini tidak memiliki pernyataan yang sistematis mengenai prinsip-prinsip dan praktek-praktek psikoterapis. Pendekatan ini paling sering dikritik kelemahannya dalam metodologi. Tetapi, Greening (dalam Corey, 2009) mengatakan bahwa : Humanisme eksistensial sebagai suatu orientasi psikologi menggabungkan aspek-aspek eksistensialisme dan humanisme dengan cara membuktikan sumbangan-sumbangan keduanya sambil mencoba menghindari kekurangan-kekurangannya. Jadi, humanisme eksistensial lebih meyakinkan dibandingkan banyak eksistensialisme, namun lebih mengenal keterbatasan dan keniscayaan aktualisasi diri manusia dibandingkan dengan para humanis yang terpusat pada kesenangan dan pertumbuhan. Humanisme eksistensial mencakup pengakuan eksistensialisme terhadap kekacauan absurditas, keniscayaan, keputusasaan, dan “keterlemparan” manusia ke dalam dunia tempat dia sendiri bertanggung jawab atas pemenjadiannya. Humanisme eksistensial juga mencakup dalil humanistik bahwa manusia memiliki potensi yang besar untuk mentransformasikan dirinya sendiri sebagai suatu dorongan yang tidak bisa ditekan kepada pengalaman pemenuhan dalam menguji batas-batas potensi itu terhadap hambatan-hambatan yang inheren pada keberadaannya.

Pandangan Tentang Sifat Manusia
     Psikologi eksistensial-humanistik berfokus pada kondisi manusia, terutama suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia alih-alih suatu sistem teknik-teknik yang digunakan untuk mempengaruhi klien. Pendekatan eksistensial-humanistik tidak mengecilkan manusia menjadi kumpulan naluri ataupun hasil pengkondisian. Pendekatan ini bukan suatu aliran terapi, bukan pula suatu teori tunggal yang sistematik.

Tujuan-Tujuan Terapeutik
     Terapi ini bertujuan agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya. Pada dasarnya, tujuan terapi eksistensial adalah memperluas kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya. Selain itu, juga bertujuan untuk membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan sehubung dengan tindakan memilih diri, dan menerima kenyataan bahwa dirinya lebih dari sekedar korban kekuatan-kekuatan deterministik di luar dirinya.
     Dalam mencapai tujuan dari terapi ini, dibutuhkan peran serta fungsi dari terapis. Tugas utama terapis adalah berusaha mamahami klien sebagai ada dalam dunia. Teknik yang digunakan mengikuti alih-alih mendahului pemahaman. Karena menekankan pemahaman klien sekarang, para terapis eksistensial menunjukkan keleluasaan dalam menggunakan metode-metode, dan prosedur yang digunakan oleh mereka bisa bervariasi tidak hanya dari klien satu kepada klien lainnya, tetapi juga dari satu ke lain fase terapi yang dijalani oleh klien yang sama. Dikalangan terapis eksistensial dan humanistik ada kesepakatan menyangkut tugas-tugas dan tanggung jawab terapis.

Teknik-Teknik Dan Prosedur-Prosedur Terapeutik
     Tidak seperti kebanyakan pendekatan terapi, pendekatan eksistensial-humanistik tidak memiliki teknik-teknik yang ditentukan secara ketat. Prosedur-prosedur terapeutik bisa dipungut dari beberapa pandekatan terapi lainnya. Metode-metode yang berasal dari terapi Gestalt dan Analisis Transaksional sering digunakan, dan sejumlah prinsip dan prosedur psikoanalisis bisa diintegrasikan ke dalam pendekatan eksistensial-humanistik.
     Bugental dalam bukunya The Search for Authenticity (1965) menunjukkan bahwa konsep inti pskoanalisis tentang resistensi dan transferensi bisa diterapkan dalam filsafat dan praktek terapi eksistensial. Rollo May (dalam Corey, 2009) seorang psikoanalisis Amerika, juga telah mengintegrasikan metodologi dan konsep-konsep psikoanalisis ke dalam psikoterapi eksistensial.
     Menurut Corey (2009), meskipun pendekatan eksistensial-humanistik memiliki banyak hal yang bisa diberikan kepada klien yang fungsi psikologis dan fungsionalnya relatif tinggi, pendekatan eksistensial-humanistik ini amat terbatas penerapannya pada para klien yang fungsinya rendah, pada para klien yang berada dalam keadaan krisis, dan pada para klien yang miskin. Para klien yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok untuk memelihara kelangsungan hidupnya dan yang tidak berminat pada aktualisasi diri atau makna-makna eksistensial, kurang tepat untuk ditangani melalui terapi eksistensial-humanistik.

Sumber : Corey, G. (2009). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.

CLIENT-CENTERED THERAPY

     Konsep dasar dari client-centered therapy adalah bahwa inidividu memiliki kecenderungan untuk mengakutalisasikan diri (actualizing tendencies) yang berfungsi satu sama lain dalam sebuah organisme. Para terapis lebih terfokus pada “potensi apa yang dapat dimanfaatkan”. Didalam terapi, terdapat dua kondisi inti: congruence dan unconditional positive regard. Congruence merujuk pada bagaimana terapis dapat mengasimilasikan dan menggiring pengalaman agar klien sadar dan memaknai pengalaman tersebut. Unconditional positive regard adalah bagaimana terapis dapat menerima klien apa adanya, di mana terapis membiarkan dan menerima apa yang klien ucapkan, pikirkan, dan lakukan. Di samping itu , terdapat juga sejumlah konsep dasar dari sisi klien, yakni self-concept, locus of evaluation, dan experiencing Self concept merujuk pada bagaimana klien memandang-memikirkan-menghargai diri sendiri. Locus of evaluation merujuk dari sudut pandang mana klien menilai diri. Orang yang bermasalah akan terlalu menilai diri mereka berdasar persepsi orang lain (eksternal). Experiencing, adalah proses di mana klien mengubah pola pandangnya, dari yang kaku dan terbatas menjadi lebih terbuka.
     Ada beberapa konsep-konsep kepribadian yang dikemukakan Rogers, yaitu:
1.    Pengalaman, yakni alam subjektif dari individual, di mana hanya indidivu spesifik yang benar-benar memahami alam subjektif dirinya sendiri;
2.    Realitas, yaitu persepsi individual terhadap lingkungan sekitarnya yang subjektif, di mana perubahan terhadap persepsi akan memengaruhi pandangan individu terhadap dirinya;
3.    Kecenderungan individu untuk bereaksi sebagai keseluruhan yang beraturan (organized whole), di mana individu cenderung bereaksi terhadap apa yang penting bagi mereka (skala prioritas);
4.    Kecenderungan individu untuk melakukan aktualisasi, di mana individu pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk menunjukkan potensi diri mereka, bahkan meskipun apa yang mereka lakukan (dan pikirkan) irasional;
5.    Kerangka acuan internal yakni bagaimana individu memandang dunia dengan cara unik mereka sendiri;
6.    Self atau diri, yakni bagaimana individu memandang secara keseluruhan hubungan  aku (I) dan diriku (me), dan bagaimana hubungan keduanya dengan lingkungan;
7.    Simbolisasi, di mana individu menjadi sadar dengan pengalamannya, dan simbolisasi itu seringkali muncul secara konsisten dengan konsep diri;
8.    Penyesuaian psikologis, di mana keberadaan congruence antara konsep diri dan persepsi individu akan menjadikan individu dapat melakukan penyesuaian psikologis (dan sebaliknya);
9.    Proses penilaian organis, di mana individu membuat penilaian pribadi berdasarkan nilai yang dianutnya; dan
10.    Orang yang berfungsi sepenuhnya, di mana orang-orang seperti ini adalah mereka yang mampu merasakan pengalamannya, terbuka terhadap pengalaman, dan tidak takut akan apa yang mereka sedang dan mungkin alami.

Terapis
Dalam tipe Rogerian terapis bersifat pasif. Ada 3 formulasi penting yang harus dilakukan terapis, yaitu:
1.    Kongruensi (keselarasan antara pikiran dan perilaku terapis, terapis terbuka dan natural),
2.    Empati (persepsi akurat tentang perasaan orang lain, terapis benar-benar ikut merasakan hal yang dirasa klien), dan
3.    Anggapan positif tanpa syarat (tidak menghakimi, terapis menerima klien apa adanya tanpa membedakan baik dan buruk) (Sundberg et al, 2002).
     Tugas terapis adalah sebagai fasilitator pasif yang mendorong klien untuk bertanggung jawab dalam menentukan arah atau tindakannya sendiri dengan menciptakan iklim terapeutik, terapis menggunakan perasaannya dalam menghadapi klien (Corsini & Wedding, 2011), terapis menjadi observer menggunakan seluruh inderanya (Capuzzi & Gross, 1991).

Hubungan Antara Terapi Dan Klien
     Client-centered therapy (CCT) menekankan pada sikap dan kepercayaan dalam proses terapi antara terapis dengan klien. Efektifitas dari pendekatan terapi ini adalah pada sifat kehangatan, ketulusan, penerimaan nonposesif dan empati yang akurat. Client-centered therapy beranggapan bahwa klien sanggup menentukan dan menjernihkan tujuan-tujuannya sendiri. Perlu adanya respek terhadap klien dan keberanian pada seorang terapis untuk mendorong klien agar bersedia mendengarkan dirinya sendiri dan mengikuti arah-arahannya sendiri terutama pada saat klien membuat pilihan-pilihan yang bukan merupakan pilihan yang diharapkan terapis. CCT membangun hubungan yang membantu, dimana klien akan mengalami kebebasan untuk mengeksplorasi area-area kehidupannya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Dalam Suasana ini klien merupakan narator aktif yang membangun terapi secara interaktif dan sinergis untuk perubahan yang positif. CCT cenderung spontan dan responsif terhadap permintaan klien bila memungkinkan. Seperti permintaan untuk mengubah jadwal terapi dan membuat panggilan telepon pada terapis.

Teknik
     Tidak ada metode atau teknik yang spesifik. Karena CCT menitikberatkan pada sikap-sikap terapis. Namun ada beberapa teknik dasar yang harus dimiliki terapis yaitu mendengarkan klien secara aktif, merefleksikan perasaan klien, dan kemudian menjelaskannya (Corsini & Wedding, 2011).

Proses & Aplikasi
Wawancara awal  digunakan untuk:
1.    Menjelaskan apa yang akan dilakukan terapi dan apa yang diharapkan dari klien, kontrak terapeutik (tujuan, harapan, kapan, dimana, lama, keterbatasan, dan lain-lain);
2.    Mengetahui apa yang menjadi masalah klien, lalu untuk sampai pada diagnosis, selanjutnya menentukan apakah klien dapat diobati apa tidak (Natiello, 1994). Terapis bersama klien mengkaji dan mendiskusikan apa yang telah dipelajari klien selama terapi berlangsung, dan dapat di aplikasi pada kehidupan sehari-hari. Terapi dapat berakhir jika tujuan telah tercapai, klien tidak melanjutkan lagi, atau terapis tidak dapat lagi menolong kliennya (merujuk ke ahli lain).

Ciri-ciri psikoterapi adalah sebagai berikut:
1.    Proses:  Interaksi dua pihak, formal, profesional, legal, etis;
2.    Tujuan: Perubahan kondisi psikologis individu menjadi  pribadi yang positif atau optimal (afektif, kognitif, perilaku atau kebiasaan);
3.    Tindakan, berdasar: ilmu (teori), teknik, skill yang formal, assessment (data yang diperoleh melalui proses assessment-wawancara, observasi, tes, dan sebagainya) (Gerald Corey, 2009).

     Paradigma tradisional (CCT) menegaskan bahwa perubahan adalah bagian dari “menggali” perasaan atau pengalaman yang mendistorsi konsep diri, sehingga menyebabkan kecemasan. Mekanisme terapeutik berlandaskan hubungan aku-kamu, atau hubungan pribadi ke pribadi dalam keamanan dan penerimaan yang mendorong klien  menanggalkan pertahanan-pertahanannya serta menerima dan mengintegrasikan aspek-aspek sistem dirinya yang sebelumnya diingkari atau didistorsi. (Zimring, 2000).
     Terapis harus berasumsi bahwa terapi umumnya berlaku untuk siapa pun, terlepas dari label diagnostik, bertumpu pada keyakinan bahwa orang itu mempunyai ekspresi diri antara diri dan gangguan, diri dan lingkungan. (Mearns, 2003; Rogers, 1951). Pendekatan ini menggunakan teknik dasar mencakup mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan-perasaan; menjelaskan, dan “hadir” bagi klien, namun tidak memasukkan pengetesan diagnostik, penafsiran, kasus sejarah, dan bertanya atau menggali informasi.

Sumber: dari berbagai sumber.

TERAPI PSIKOANALISIS

Psikoanalisis adalah sebuah model perkembangan kepribadian, filsafat tentang sifat manusia dan metode psikoterapi

Secara historis → aliran pertama dari 3 aliran utama psikologi

Sumbangan Utama Psikoanalisis:
1.    Kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami, dan pemahaman terhadap sifat manusia bias diterapkan pada perbedaan penderitaan manusia
2.    Tingkah laku diketahui sering ditentukan oleh faktor tak sadar
3.    Perkembangan pada masa dini kanak-kanak memiliki pengaruh yg kuat terhadap kepribadian dimasa dewasa
4.    Teori psikoanalisis menyediakan kerangka kerja yang berharga untuk memahami cara-cara yg digunakan oleh individu dalam mengatasi kecemasan
5.    Terapi psikoanalisis telah memberikan cara-cara mencari keterangan dari ketidaksadaran melalui analisis atas mimpi-mimpi

Konsep-Konsep Utama Terapi Psikoanalisis
1.    Struktur Kepribadian
-    Id
-    Ego
-    Super Ego
2.    Pandangan tentang Sifat Manusia
Pandangan Freud tentang sifat manusia pada dasarnya pesimistik, deterministic, mekanistik, dan reduksionistik
3.    Kesadaran dan Ketidaksadaran
Konsep Ketaksadaran:
-    Mimpi-mimpi → merupakan representative simbolik dari kebutuhan-kebutuhan, hasrat-hasrat  konflik
-    Salah ucap atau lupa → terhadap nama yang dikenal
-    Sugesti Pascahipnotik
-    Bahan-bahan yang berasal dari teknik-teknik asosiasi bebas
-    Bahan-bahan yang berasal dari teknik proyektif
4.    Kecemasan
Suatu keadaan yang memotivasi kita untuk berbuat sesuatu
Fungsi → memperingatkan adanya ancaman bahaya
3 macam kecemasan:
-    Kecemasan realistis
-    Kecemasan neurotic
-    Kecemasan moral

Tujuan Terapi Psikoanalisis
1.    Membentuk kembali struktur karakter individu dengan jalan membuat kesadaran yang tak disadari didalam diri klien
2.    Fokus pada upaya mengalami kembali pengalaman masa anak-anak

Fungsi dan Peran Terapis
1.    Terapis atau analis membiarkan dirinya anonim serta hanya berbagi sedikit perasaan dan pengalaman sehingga klien memproyeksikan dirinya kepada terapis dan analis
2.    Peran terapis
-    Membantu klien dalam mencapai kesadaran diri, kejujuran, keefektifan dalam melakukan hubungan personal dalam menangani kecemasan secara realistis
-    Membangun hubungan kerja dengan klien, dengan banyak mendengar dan menafsirkan
-    Terapis memberikan perhatian khusus pada penolakan-penolakan klien
-    Mendengarkan kesenjangan-kesenjangan dan pertentangan-pertentangan pada cerita klien

Pengalaman Klien dalam Terapi
-    Bersedia melibatkan diri kedalam proses terapi yg intensif dan berjangka panjang
-    Mengembangkan hubungan dengan analis atau terapis
-    Mengalami krisis treatment
-    Memperoleh pemahaman atas masa lampau klien yang tak disadari
-    Mengembangkan resistensi-resistensi untuk belajar lebih banyak tentang diri sendiri
-    Mengembangkan suatu hubunghan transferensi yang tersingkap
-    Memperdalam terapi
-    Menangani resistensi-resistensi dan masalah yang terungkap
-    Mengakhiri terapi

Hubungan Terapis dan Klien
1.    Hubungan dikonseptualkan dalam proses tranferensi yang menjadi inti Terapi Psikoanalisis
2.    Transferensi mendorong klien untuk mengalamatkan pada terapis “urusan yang belum selesai” yang terdapat dalam hubungan klien dimasa lalu dengan orang yang berpengaruh
3.    Sejumlah perasaan klien timbul dari konflik-konflik seperti percaya lawan tak percaya, cinta lawan benci
4.    Transferensi terjadi pada saat klien membangkitkan kembali konflik masa dininya yang menyangkut cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan, dan dendamnya
5.    Jika analis mengembangkan pandangan yang tidak selaras yang berasal dari konflik-konflik sendiri, maka akan terjadi kontra transferensi
-    Bentuk kontratransferensi → perasaan tdk suka atau keterikatan dan keterlibatan yang berlebihan
-    Kontratransferensi dapat mengganggu kemajuan terapi

Teknik Dasar Terapi Psikoanalisis
1.    Asosiasi Bebas
Suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lalu dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi-situasi traumatik di masa lalu
2.    Penafsiran
Suatu prosedur dalam menganalisa asosiasi-asosiasi bebas, mimpi-mimpi, resistensi-resistensi dan transferensi
Bentuknya: tindakan analis yang menyatakan, menerangkan, bahkan mengajari klien makna-makna tingkah laku
3.    Analisis Mimpi
Suatu prosedur yang penting untuk menyingkap bahan-bahan yang tidak disadari dan memberikan kepada klien atas beberapa area masalah yang tak terselesaikan
4.    Analisis dan Penafsiran Resistensi
Ditujukan untuk membantu klien agar menyadari alasan-alasan yang ada dibalik resistensi sehingga dia bias menanganinya
5.    Analisis & Penafsiran Transferensi
Teknik utama dalam Psikoanalisis karena mendorong klien untuk menghidupkan kembali masa lalu nya dalam terapi

Sumber: indryawati.staff.gunadarma.ac.id